DI BAWAH ATAP NEGERI JARAHAN
genderang perang terlanjur ditabuh
bahtera pun telah lirih terkayuh
si gadis kecil berkerah merah
terkoyak rapuh bermandikan darah
terlalu sarat kelok yang ditempuh
lembah curam menganga siap merengkuh
menatap cakrawala penuh hampa
merindu deru secercah asa
saat hukum berkasta kelabu
mengapa jua dirgantara membisu?
di bawah atap negeri jarahan
si gadis meratap mengubur impian
Yogyakarta, 25-07-2021
LANGIT TANPA SEPOTONG SENJA
aku yang tak bisa menyapa
atau sengaja langit menyumpal telinga
gerombolan singa datang membabi-buta
memporak-porandakan tiang-tiang kata
hingga berjatuhan tanpa pernah menjadi frasa
aku yang tak sanggup mendengarkan
atau sengaja bumi membungkam lisan
kawanan macan meruak hingga pelosok jalan
memaksa ternak sembunyi kelaparan
kedinginan tanpa sehelai pengharapan
aku yang tak dapat melihat
ataukah senja, memang tiada terlihat
di saat langit tiba-tiba pekat
kemana manusia bermartabat?
Pati, 19-09-2021
DI BALIK CORETAN PENA
di balik coretan pena
ada air mata yang bercampur tinta
suburkan duri pada tepian kata
robekkan jemari abadikan luka
jangan saja dikira aku senang
sejujurnya telah lama tenangku hilang
di ranjang pelik aku terlelap
mendekap hening sunyi senyap
namun ingin sekali kau kubisiki
bahwasanya tiada bara sesejuk ini
dan bila detik tak kunjung pergi
ku kan tetap menulis lagi
Pati, 09-10-2021
SAJAK REMBULAN
dari balik kuas, kanvas, serta keheningan
kulukiskan wajahmu lewat sajak
bertemakan rembulan
kususuri hamparan samudra kata itu
sebelum akhirnya tenggelam
tergulung ombak biru matamu
untung saja raga ini tak berongga
sehingga tiada setetes buih
kuasa menggempur karang-karang dada
kala akhirnya sampailah aku
pada rimbun rindang rambutmu
tanpa bisikan pohon-pohon itu
pastinya jurang yang garang
telah utuh merengkuh jiwa
kutinggalkan kuas, kanvas, serta keheningan
bersama sepotong sajak
yang tiada akan pernah sempurna
Rembang, 16-10-2021
NOTA KOSONG
coba kau hitung lagi
berapa senja kau beli
berapa pelangi kau koleksi
serta berapa mentari
telah kau kantongi
sudah hilangkah ingatanmu
tentang benang kusut
yang kau sulam menjadi baju
lalu kemudian kau memakainya
kala menghadiri euforia pesta
sudah hilangkah makna lukisan
gunung, sungai, lembah, serta lautan
yang tiada habisnya kau dendangkan
dan kau sebut sebagai
kelopak mutiara peradaban
sudah hilangkah semua itu
sudah hilangkah aku
Pati, 17-10-2021
Abdul Ghofar, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta