WEETEBULA, TEMPUSDEI.ID (27/11)-Cuaca sore, pada 25 November 2021, mendatangkan perasaan was-was pada puluhan orang yang berkumpul di “Rumah Budaya Sumba”, Kalembu Nga’a Bangga, Weetebula, Sumba Barat Daya (SBD), NTT.
Mereka gelisah “kalau-kalau” hujan turun. Pasalnya, sebuah perhelatan seni akan digelar di pelataran rumah budaya beratap langit pada sore hingga malam itu. Jika hujan turun, acara akan sangat terganggu.
Namun, semesta menghendaki seluruh rencana berlangsung dengan baik. Awan yang sudah menggantung di langit Weetebula, perlahan berarak menjauh terbawa angin. Hujan pun tidak jadi turun, dan semua pun lega.
Perhelatan yang dimaksud bertajuk Pentas Seni: Musik, Lagu, Tari dan Sejarah Karya Maestro Bapak Gregorius Gheda Kaka.
Pementasan lagu-lagu ciptaan karya Pak Goris diiringi dengan baik oleh Group Parona Akustik. Lagu populer yang dipentaskan malam itu antara lain berjudul Waikelo dan Prekuya. Kedua lagu ini dinyanyikan dengan baik oleh Oktav.
Paduan antara musik tradisional Dungga Watik, perkusi sumba (Bendu dan Ndilur), gong, gitar dan piano menambah semarak malam itu.
Tidak ketinggalan, dua buah lagu karya Oktav Kaka berjudul Tanah Humba dan Kio Wena Manu ikut diperkenalkan.
Menyaksikan tarian dan lagu yang dipentaskan baik dalam liturgi maupun pertunjukan, beberapa penonton berkomentar. “Saya rasa seperti Bapak Goris hidup kembali,” ujar Lisa Dodok. “Kami rasa Bapak macam hadir saja di antara kita,” tukas Sius.
Seluruh pentasan ditutup dengan menyanyikan lagu Nakelo (kemuliaan) diikuti aksi menari bersama seluruh peserta yang hadir.
Dengan sponsor utama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pementasan ini berjalan dengan lancar, sukses dan memukau.
Kata Pater Willy Ngongo Pala, CSsR, putra pertama Mendiang, “Semua karya Bapak lahir, pertama-tama karena cintanya pada Allah dan kebudayaan Kodi.”
Kepada Willy, Mendiang pernah berkata, “Saya ini orang Kodi yang jadi orang Katolik, bukan orang Katolik yang jadi orang Kodi”.
Benar! Pak Goris sangat sadar bahwa dia adalah orang Katolik, murid Kristus, yang berakar budaya Kodi. Dia adalah 100% Kodi, Katolik dan Indonesia.
Kata Inkulturasi adalah kata penting baginya. Terminologi ini sangat berpengaruh padanya dalam berkreasi. Dia melihat peluang budaya Kodi yang kaya ini dapat berkontribusi dalam meningkatkan mutu penghayatan iman melalui liturgi gereja.
Baginya, beriman dari konteks akan menjadikan orang memiliki iman yang otentik. Dan itulah yang mendorongnya berusaha sedapat mungkin menciptakan karya seni.
Melalui upaya yang tidak ringan, ia telah menggali, mengenal dan memahami budaya Kodi yang benar, baik syair adat maupun lagu dan tari agar inkulturasi yang diupayakan demi memperkaya khazanah musik gereja tidak dilakukan secara gegabah.
Dengan penelitian dan metode terbatas yang dimilikinya, Pak Goris berupaya agar budaya Kodi tetap terekam secara tertulis dan melalui seni.
Gregorius Gheda Kaka lahir di Lenang Kapaka, 7 Juli 1945 anak dari pasangan suami istri Stanis Ndara Dangga dan Hendrika Ra Papit.
Ayahnya seorang katekis dan anggota dewan gereja Paroki Santa Maria Asumpta Homba Karipit, SBD.
Dia memulai pendidikan dasarnya di SDK Homba Karipit. Kemudian melajutkan ke SMPK St. Aloysius Weetebula. Ia mengenyam pendidikan menengah atas di SMA Katolik Anda Luri yang sekaligus menjadi tingkat pendidikan tertinggi yang pernah ia tempuh. Tamat pada 1964.
Setamat SMA, dia mengajar di SMP St. Gerardus Mayella, Kalembu Weri. Selanjutnya ia pindah ke SMPK Wona Kaka, Homba Karipit hingga pensiun dengan jabatan Pengawas Sekolah YAPNUSDA.
Ia menikah dengan wanita pujaannya Martha Dada Gabi dari Rada Mata, Laura dan dikaruniai empat orang anak. Pada 17 Juli 2005, ia menyudahi pertandingannya di dunia dan kembali ke pangkuan Bapa di Surga. (tD/WP)