Oleh Emanuel Dapa Loka
Angin kemarau bertiup di padang telanjang
Kuda-kuda keramat tunggangan para umbu dan rambu
dari parai marapu berlari melesat bagai anak panah,
lalu menikam puisiku
Awan yang sejak pagi menggantung di pusaran langit
dan hendak tersiram ke bawah,
agar bumi marapu menyemburkan wanginya,
berarak pergi jauh
sebab berang saat melihat di ujung mata
seekor monyet tua hendak menari
diiringi bait-bait mimpinya sendiri
Angin kemarau lalu bertiup
membawa aroma dari mulut berbau
yang menghamburkan beribu kata tak bermakna,
mantra tanpa tuah,
kecuali memicu terhunusnya amarah
Mimpi buruk membuncah,
memuncratkan bait-bait syair keramat
lalu membuatnya tergolek lemas
Ya, dia bermimpi buruk di siang tak bertuan,
lalu mengigau: “Monyet Kau!”
sambil menuding dengan telunjuknya sendiri
Dia lupa, empat jemarinya yang lain dengan kejam menikam dadanya sendiri.