Eleine Magdalena, Penulis buku-buku renungan best seller
“Ia tidak perlu lagi mencari atau mengejar cinta yang lain. Tuhan saja cukuplah.”
Felicia berusia 27 tahun ketika menikah. Mereka dikaruniai dua orang putri. Rumah tangga mereka tidak harmonis. Empat tahun setelah menikah, Felicia mendapati suaminya selingkuh. Ini sungguh hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Dengan polos Felicia berpikir bahwa suami istri yang terikat dalam perkawinan tidak akan lagi dapat diganggu oleh orang lain. Pergaulan sekitar tempat tinggal mereka menyebabkan suami Felicia jatuh dalam kebiasaan buruk.
Sejak awal sifat playboy ini telah Felicia kenali dalam diri calon suaminya. Namun, kekosongan yang dialami Felicia sejak kematian ibunya, membuat Felicia menerima lamaran calon suaminya.
Baik Felicia maupun suami belum terlalu saling mengenal. Mereka bertemu dalam suatu acara pada tahun 1989 dan memutuskan menikah setahun kemudian tanpa melewati masa pacaran yang cukup. Tempat tinggal berbeda kota membuat mereka kurang saling mengenal. Pertimbangan yang kurang matang dalam memasuki pernikahan membuat mereka mengalami masa-masa sulit.
Relasi dengan Tuhan
Felicia mencintai Tuhan sejak masa mudanya. Ia rajin ke gereja, mengikuti retret-retret dan menjalin relasi pribadi dengan Tuhan. Namun setelah menikah ia disibukkan dengan kegiatan di rumah. Kondisi fisik yang kurang prima selama anak pertama dalam kandungan membuat Felicia tidak ke gereja, tidak juga berdoa pribadi. Hal ini berlanjut hingga kelahiran anak pertamanya. Ketika itulah prahara itu datang dalam rumah tangganya. Dunia seakan runtuh bagi Felicia.
Felicia menjadi sadar bahwa hubungannya dengan Tuhan tidak sedekat dan seintim dulu. Ketika belum menikah Felicia kerap rindu untuk meninggal agar dapat berjumpa dengan Tuhan. Namun, ketika hubungannya dengan Tuhan makin menjauh, ia mengalami ketakutan setiap kali memikirkan kematian. Bayangan mengerikan tentang kematian dan tubuh yang dimakan ulat telah membuatnya begitu takut menghadapi kematian.
Akhirnya Felicia menemukan kembali hal terpenting dalam hidupnya yaitu hubungannya dengan Tuhan. Goncangan hebat membuatnya kembali kepada Tuhan dengan segenap hati. Felicia kembali banyak berdoa dan ke gereja. Hanya dengan berdoa ia kuat menghadapi saat-saat yang sulit dalam hidupnya.
Teror, ancaman, hinaan, sering Felicia terima dari perempuan-perempuan yang dekat dengan suaminya. Mereka ingin mengambil suaminya dan mengusir dia dari rumahnya. Hal seperti ini tidak satu atau dua kali terjadi. Banyak kali dari perempuan yang berbeda-beda. Duh!
Belum lagi suaminya sering memukul, membentak dan memaksa Felicia menjual rumah warisan orang tuanya. Rumah yang merupakan satu-satunya tempat tinggal mereka.
Setiap kali Felicia menolak, pukulan yang bertubi-tubilah yang ia dapatkan dari suaminya. Pastor paroki menyarankan agar Felicia berpisah rumah sementara dari suaminya demi kebaikan bersama. Sebab, tidak baik bagi anak-anak menyaksikan pertengkaran dan kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibu mereka.
Penderitaan membuat Felicia menggantungkan hidupnya hanya kepada Tuhan. Sejak hidup berpisah, Felicia banyak membiayai sendiri rumah tangga dan keperluan anak-anaknya. Suaminya sesekali datang ke rumah hanya untuk mengambil uang dan barang-barang di toko. Lambat laun Felicia tidak lagi dapat memutar uang toko dan usaha tersebut harus ditutup. Untunglah saudara Felicia membantu kehidupan mereka dan menyekolahkan kedua anak Felicia.
Sabda Tuhan menguatkan dan mengingatkannya terus-menerus untuk melakukan perintah Tuhan. Ia mengampuni orang yang menyakiti karena ia mengasihi Tuhan. Hal ini juga membuatnya tidak menyimpan dendam.
Ia menemukan kembali bahwa Tuhanlah segala-galanya. Tanpa Tuhan tak mungkin ia dapat menghadapi kejadian demi kejadian dengan tabah dan sabar.
Kekerasan yang dihadapi dalam rumah tangga tidak membuat iman Felicia runtuh melainkan semakin kuat. Lewat doa dan Kitab Suci, Felicia mendapatkan kekuatannya kembali. Ia bahkan mengalami sukacita rohani yang melampaui kesenangan apa pun yang dapat diberikan dunia ini.
Banyak orang menyarankannya untuk mencari pendamping lagi. Namun, bagi Felicia cinta Tuhan telah melebihi segalanya. Ia tidak perlu lagi mencari atau mengejar cinta yang lain. Tuhan saja cukuplah.*