HUJAN
Aku jadi ingat, dulu kita pernah meniru hujan bersama
Aku memadat menjadi awan yang meneteskan ingatan,
tapi kamu malah murka menyambar luka dan duka
hingga kita menjadi amukan dalam bahasa guntur
Aku pun ingat, kita menari di mata hujan bersama
Aku mengalir di wajah badai yang basah oleh rindu
dan kamu memetik air mata yang berbunyi sunyi
hingga hening berdenting di telinga yang sepi
Tapi tahukah kamu, ketika hujan reda mengikuti doa,
kita menyusuri jejak langit untuk wajah baru yang biru
berharap bisa mengganti cahaya diri dengan pelangi
membias sendu rindu menjadi warna-warni kehidupan
GERIMIS TIPIS
Gerimis tipis berbaris di hati
dari rintik yang dikirim langit
untuk kolam air mata, kolam jiwa
yang kecil saja, sangat sederhana
Gerimis tipis itu membawa hikmah langit
yang tinggi, setinggi junjungan masa kecil
tapi ringan, seringan cahaya mata bayi
yang masih murni dari rahim misteri
Gerimis tipis itu berdetak di jendela
tanpa irama, tapi kita merasakan cinta
dan kekuatan doa yang mengetuk pintu
hingga kita tergerak seiring waktu
Ketika gerimis tipis itu pecah di wajah kita
hingga basah diguyur, tapi merasa dihibur
menjadi pesan yang saling mengingatkan
alangkah kuat cita-cita di genggaman rindu
MALU-MALU
Malu-malu aku mendambakanmu dalam kebisuanku
ketika malam dingin bertemu dengan obor di hati
masih saja kutemukan kilauan fajar esok hari
berenang dan menyelam di gelombang jiwamu
mengalun dan melantunkan lagu kehidupan
Malu-malu aku mencarimu di belantara kesunyianku
sewaktu matahari menyelinap di pohonan asmara
mengikutiku sambil bersiul pura-pura tak tahu
aku pun merasa tergelitik oleh bisikan jangkrik
seolah mengeja kata cinta di balik punggungku
Malu-malu aku memanggilmu dalam kesendirianku
walau pada akhirnya kuutarakan setiap sudut batin
bercengkerama di hari cerah yang harum manis
tapi percakapan kita dihantui oleh cuaca nasib
yang memanggil hujan untuk sembunyikan suaraku
LANGIT DAN BUMI
Jika aku adalah langit yang membiru
dan kau adalah bumi yang menghijau
maukah kita berdua saling mewarnai
Ku-biru-kan tubuhmu yang mengombak
ketika bahagia melandai bagai percik pantai
hingga tubuh kita sedekat air dan pasir
Kau-hijau-kan wajahku yang mengembus
ketika napas mengalun bagai bunyi hutan
hingga wajah kita sedekat desir pohonan
Aku telah jadi langit yang membasahimu
Kau telah jadi bumi yang menerimaku
dengan tangan dan kaki saling terkatup
BARISTA TANPA NAMA
Aku jatuh cinta pada barista tanpa nama
menyesap hitam kopi tanpa hitam rasa
Seperti ingin bahagia tanpa suara
menuntun perasaan tanpa rahasia
Seperti ingin menangis tanpa air mata
menyuarakan rindu tanpa kata-kata
Seperti melengkapi hari tanpa akhir senja
memulai kebersamaan tanpa aliran masa
Seperti pelukan hangat tanpa seisi semesta
mendapat penerimaan tanpa karena apa
Seperti bisikan sayang tanpa noda nafsu
menjadi pasangan sunyi tanpa goda gombal
Seperti doa pada surga tanpa bahasa fana
menjadi nyala api abadi tanpa disadari
Wendy Lim, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Puisi-puisi tersebut ia tulis pada 2021.