Oleh Gusty Masan Raya, Jurnalis di Papua
TEMPUSDEI.ID (16/12/21)-Akhirnya saya menulis juga tentang satu lagu dari Indonesia Timur yang lagi hits, yakni Bale Pulang II. Tiga bulan belakangan, tembang melankolis ini begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia. Viral menghiasi aneka platform media sosial terutama tiktok, lagu yang tayang perdana 30 September 2021 di kanal Youtube ini, hingga 15 Desember 2021 telah ditonton 13,8 juta viewers. Ini sambutan yang luar biasa tentunya.
Rupanya dua musisi pendatang baru dari Tanah Maluku, Justy Aldrin dan Toton Caribo yang membius penikmat musik tanah air lewat syair dan irama melankolis ini, mengulang sukses mereka di tembang pertama berjudul Bale Pulang I. Tayang perdana 13 April 2021 di kanal Youtube, Bale Pulang I hingga 15 Desember 2021 juga telah ditonton 15,5 juta penonton.
Dari sisi makna atau pesan, generasi milenial yang punya pengalaman senasib, tentu mudah memahami pesannya. Ya, tentang kepedihan hati akibat kasih tak sampai. Semudah kita yang mendengarnya terbawa emosi dan berimajinasi jadi salah satu saksi: menatap sapu tangan basah air mata di tangan lelaki tepi dermaga Ambon, Ternate, Tual, Seram, Saparua, Dobo, dan entah.
Lebih dari itu, catatan singkat ini sesungguhnya ingin mengapresasi fenomena bangkitnya industri musik Indonesia Timur di tanah air sebagai kekuatan baru yang tak bisa dianggap sepele. Musisi baru dari Maluku, Papua, NTT, dan Manado, tujuh tahun belakangan memang menjadi idola baru para pendengar, ketika kanal Youtube membuka ruang. Dapur rekaman amatir, menjamur di mana-mana. Ratusan karya di-publish setiap tahun.
Tentang musik, era kepingan CD/DVD memang sudah lewat. Apalagi zaman kaset stereo, yang butuh tape untuk diputar. Kini, internet dan smartphone memainkan peran paling penting bagi perkembangan musik dunia. Dan kita patut berterima kasih kepada aplikasi Youtube yang menyediakan kanalnya bagi para musisi pendatang baru, termasuk dari Indonesia Timur. Dengan lagu-lagu mereka, orang se-Indonesia mulai belajar memahami bahasa Melayu Melanesia yang mirip antara Ambon, Papua, Manado, Kupang dan Larantuka.
Kita tentu masih ingat, ketika lagu Gemu Fa Mi Re karya Nyong Franco dari Maumere, NTT yang sejak 2011 menggemparkan Indonesia dengan irama goyangan Flores nan khas. Atau lagu Anjing Kacili dari Manado tahun 2017. Dua-duanya punya jiwa yang mirip dengan lagu poco-poco dari Maluku yang dikenalkan almarhum Yopie Latul, atau Sajojo dari Papua. Sama-sama membangkitkan kaki untuk berdiri dan menari. Menambah imun tubuh dan menumbuhkan optimisme hidup.
Tetapi pada sisi lain, jiwa musik Indonesia Timur, sebenarnya banyak bernada melankolis penuh ratapan, seperti pada irama dan syair Bale Pulang. Hans Sroyer, musisi lokal Papua menyebutnya sebagai irama gelombang laut: melankolis, sendu tapi menukik di hati. Syair dan nadanya membawa pesan duka, tetapi sekalian mengantar penikmat musik untuk keluar dari dirinya untuk memurnikan jiwa (katarsis). Inilah alasan filsuf Friedrich Nietzsche, menyebut musik sebagai tempat pelarian sementara manusia dari kenyataan hidup paling tepat.
Mendengar irama dan syair Bale Pulang II, imaginasi saya terbawa menuju Ambon, kota terbesar di Pulau Maluku, yang sejak 30 Oktober 2019 ditetapkan UNESCO sebagai Kota Musik. Kita tahu, kota ini, dan tanah Maluku umumnya, sepanjang sejarah menyumbang musisi-musisi legendaris hebat di blantika musik tanah air. Sebut saja Bram Titeley, Bob Tutupoli, Utha Likumahua, Broery Marantika, Harvey Malaiholo, Glenn Fredley, Regina Idol, dan masih banyak lagi.
Tetapi Maluku tak sekadar musik. Di arsip sejarah bangsa, negeri ini dijuluki sebagai The Spicy Island karena kekayaan rempah-rempahnya. Maka bisa saja, dermaga penuh air mata dalam syair lagu Bale Pulang II, adalah dermaga beraroma sejarah. Ada catatan yang menyebutkan bahwa kapal-kapal milik Belanda dan Portugis di bawah pimpinan Antonio de Abreu tiba di tahun 1512, di bawah monopoli perdagangan yang tamak, mengangkut rempah-rempah dari Ternate dan pulau sekitarnya. Ini melahirkan perlawanan Sultan Aby Lais, Sultan Baabullah, hingga Thomas Matulessy Pattimura.
Karena itu, menyelami Bale Pulang dan sambutan yang luar biasa dari penikmat musik tanah air, saya menemukan ada kekuatan baru yang mendobrak tatanan musik Indonesia. Bale Pulang, yang dalam bahasa Melayu Melanesia sebagai ajakan balik dan pulang, juga sebenarnya mengajak kita semua penikmat musik, untuk kembali menghargai dan memberi ruang bagi musik lokal. Kembali kepada kekayaan musik dan syair daerah.
Saya kira, sudah sepantasnya lembaga Yayasan Anugerah Musik Indonesia, mulai berpikir untuk memberi penghargaan bergengsi AMI Awards kepada anak-anak muda seperti Justy dan Toton, sebab musik bukan semata uang, tidak sebatas cuan. Musik adalah cermin harga diri, eksepresi pembebasan jiwa, dan energi positif yang sanggup melahirkan perubahan.*