TEMPUSDEI.ID (29/12/21)-Pada Malam Natal, 24 Desember 1947, Bung Karno diminta untuk memberikan kata sambutan pada perayaan Natal. Lalu Bung Karno memulai pidatonya dengan bernas – demikian:
“Spanduk di depan saya ada tertulis: Yesus adalah Gembala Yang Baik…! Itu salah, itu keliru”, katanya dengan tegas dan kokoh berwibawa.
Segenap yang hadir sontak diam dan terperangah, tanpa mampu mengeluarkan suara dan sepatah kata pun.
Setelah beberapa detik sunyi, Bung Karno melanjutkan pidatonya dengan bergelora: “….Yang benar itu begini: Sesungguhnya Yesus adalah Gembala Yang Terbaik!!”
Lalu hiruk-pikuk dan tepuk tangan semarak menggelegar memenuhi seluruh ruangan.
Setelah gemuruh hiruk pikuk mereda, Bung Karno lalu melanjutkan pidatonya “Kita semua yang hadir di sini ditantang: Sudahkah menjadi domba-domba terbaik-Nya?”
Ya. Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara bagi semua penganut agama, Presiden Soekarno memang pernah menghadiri perayaan pelbagai agama, termasuk Natal 1947 di Yogyakarta, dan menyampaikan pesan Natal.
Perayaan Natal 1947 waktu itu sendiri diselenggarakan oleh Komunitas Ekumenis: umat Katolik dan Protestan Yogya, yamg bertempat di gereja Kristen Protestan, dan letaknya persis sebelum Gedung Agung (Istana Presiden di Yogyakarta), jika dilihat dari sebelah utara.
Beberapa tahun sebelumnya, juga pada Malam Natal. 24 Desember 1938. Fatimah, kelak dikenal sebagai Bu Fatmawati, berlakon jadi Bunda Maria dalam sandiwara Natal di sekolahnya. Bung Karno turut duduk menontonnya.
Fatmawati, dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno: “Malam pesta Natal datang. Mulai sore hari aku sudah mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Kami berhias di ruangan anak-anak asrama. Aku disuruh mengenakan baju rok lengan panjang berwarna putih. Rambutku dibelah.”
Fatmawati pun menulis, ia memainkan watak sabar dan teguh Bunda Maria. Pentas dihiasi pohon Natal dengan lampu dan salju buatan, melukiskan masa Yesus lahir dan menjalankan tugas suci yang penuh tantangan serta hinaan. Pesta dilanjutkan dengan persembahan lagu Stille Nacht, Malam Kudus.
Sosok Fatmawati yang sopan, cerdas, dan pandai dalam bernyanyi membuat dirinya mendapatkan “peran langka” di Sekolah Katolik itu untuk memerankan Bunda Maria pada perayaan Natal 24 Desember 1938—sekaligus ikut menyanyikan kidung Natal “Stille Nacht” —”Malam Kudus” yang disaksikan langsung dan disambut baik oleh para pastor, suster, Soekarno, Inggit, dan kedua orangtua Fatmawati yang terkenal sangat taat dalam beragama.
Ada pun, ketika berusia enam tahun, Fatmawati memang menempuh pendidikan di Sekolah Gedang (sekolah rakyat). Kemudian, ayahnya (Hasan) memindahkan Fatmawati ke HIS atau sekolah berbahasa Belanda pada 1930. Akibat pindah sekolah, dia harus menempuh jarak enam kilometer dari rumahnya. Setiap pagi, dia menumpang mobil Jeep pengangkut balok es, sedangkan pulangnya dia berjalan kaki dengan teman-temannya menerabas terik matahari dengan suka-cita.
Mereka kemudian terpaksa pindah ke Palembang dan di sana Hasan membuka usaha percetakan. Fatmawati melanjutkan sekolahnya kelas 4 dan 5 di HIS Muhammadiyah Palembang. Karena usahanya kurang lancar, mereka akhirnya pindah lagi ke Curup, daerah antara Lubuk Linggau dengan Bengkulu. Di tengah impitan ekonomi, mereka harus berdagang sayur untuk menyambung hidup. Fatmawati terpaksa putus sekolah.
Ya. Sejak Fatmawati lahir hingga dewasa, kesulitan ekonomi sama sekali tidak menghentikan laju khidmat Fatmawati dan kedua orangtuanya untuk menghidupkan pergerakan Muhammadiyah. Saat Bung Karno diasingkan di Bengkulu bersama istrinya Inggit Garnasih, Fatmawati yang terpaksa berhenti sekolah dasar tingkat 5 tetap giat dalam organisasi Nasyi’atul ‘Aisyiyah.
Indahnya, kedatangan Bung Karno yang berkawan dengan Hassan Din (ayah Fatmawati) menjadi perantara bagi Fatmawati untuk bertemu dengan Pastor Cobben—yang menjamin pembiayaan sekolah Fatmawati di Sekolah Katolik. Fatmawati kembali melanjutkan pendidikan di RKVakschool dan menginjak usia ke-17, Fatmawati berhasil menamatkan sekolahnya. (Josh)