Oleh Weinata Sairin, Rohaniwan
Banyak sekali orang yang terkesima, terpukau, terpana, terlena kepada sesuatu yang biasa disebut “duniawi”. Memang acap orang membedakan secara dualitas, misalnya jasmani-rohani, horisontal-vertikal, duniawi-surgawi, dan sebagainya.
Kata “duniawi” biasanya dihubungkan dengan segala sesuatu yang ada, terjadi dan berlangsung di dalam dunia dan yang sifatnya fana, temporer dan sementara. Duniawi biasa juga dihubungkan dengan jasmani, sesuatu yang bisa dilihat, diraba, nampak secara kasat mata. Dalam arti tertentu kata “duniawi” mengandung konotasi negatif yang dianggap bisa menggerus kekuatan spiritual dan ketangguhan iman seseorang.
Pada kalimat berikut makna kata “duniawi” bisa terbaca dengan amat jelas. “Di lantai 13 Hotel Eureka setiap orang bisa menikmati kondisi surga dunia. Banyak orang mencari kesenangan duniawi di tempat itu”. “Sesudah keluar dari penjara ia tidak lagi melakukan aktivitas duniawi yang melawan hukum, ia fokus pada pemantapan rohani melalui seorang guru spiritual”.
Dari banyak literatur keagamaan istilah “duniawi” memang nyaris bernuansa negatif apalagi jika dikontraskan dengan dimensi “surgawi”, “kesurgaan” “keilahian”. Duniawi, profan, sekuler yang seringkali dipertentangkan dengan yang sakral dan vertikal memang kosa kata yang amat dikenal dalam kehidupan kita sebagai umat yang beragama.
Sejak awal, agama-agama menyatakan dengan amat jelas, lugas dan eksplisit bahwa “dunia” itu termasuk benda yang diciptakan. Dunia bukan benda kekal dan abadi yang berada di luar ruang dan waktu. Dunia adalah ciptaan agung dan mahakarya dari Allah, Khalik alam semesta. Oleh karena itu dunia adalah benda yang fana termasuk segala sesuatu yang ada di dalam dunia.
Manusia mulia diciptakan Allah agar ia mengukir karya terbaik di tengah dunia, mengelola bumi ini dengan seluruh kekayaan yang ada agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan umat manusia dari abad ke abad. Sayangnya nafsu penguasaan manusia terhadap bumi amat besar, penuh keserakahan, ia eksploitasi isi perut bumi tanpa mengkalkulasi dengan matang dampaknya bagi generasi berikut dan bagi perkembangan alam itu sendiri. Walaupun narasi ajaran agama-agama amat jelas menyatakan bahwa kewargaan kita bukan di dunia ini tapi di surga, yang akan dialami dimasa datang, namun manusia terlena pada hal-hal yang duniawi. Manusia berupaya dengan segala cara bahkan yang bertentangan dengan agama untuk mencapai kesuksesan, demi mempertahankan “kemuliaan duniawi”.
Orang membeli sertifikat, membeli gelar, korupsi, membobol ATM, merekayasa perusahaan bodong, menipu para peserta umroh, mark up anggaran, mengorupsi uang bansos, menyuap pejabat, dsb mengabaikan dan berpura-pura tak tahu undang-undang hanya untuk mempertahankan kemuliaan duniawi.
Orang tidak takut lagi pada hukuman Tuhan, bahkan terus menerus berbohong, menipu dan mengelabui Tuhan, orang tidak taat hukum dan mencari alibi untuk bebas dari proses peradilan, lari atau bersembunyi untuk mengelak dari proses hukum. Negeri ini sudah tidak lagi sepenuhnya negeri yang warga negaranya taat beragama, tapi negeri yang warganya masih repot berdiskusi untuk mengatur kolom agama di KTP atau diskusi tentang pola pembelajaran agama yang cocok di era digital, sehingga lupa untuk beragama secara utuh penuh, konsisten dan kontinyu. Jauhi penodaan agama dan persekusi agama dalam berbagai bentuk di NKRI.
Para pejabat agama, tokoh dan lembaga agama harus berupaya terus mencari pola dan bentuk yang relevan dalam proses pembinaan kehidupan beragama di zaman ini. Pola dan bentuk itu menolong umat sehingga mereka dapat mewujudkan keberagamaan yang kafah dalam realitas konkret.
Kemuliaan dunia itu cepat berlalu bersama usia yang makin uzur. Jangan terpukau pada kemuliaan duniawi, pada harta, tahta, jabatan dan kemasyhuran. Wujudkan hidup yang taat hukum dan takut kepada Tuhan! Carilah kemuliaan surgawi yang kekal abadi, yang berada di luar ruang dan waktu dengan cara melaksanakan perintah agama, beramal, bersedekah, berbuat kebajikan, menabur cinta kasih bagi sesama dan bentuk-bentuk lainnya. Ingat hidup kita yang sejati berada di kekekalan, dan bukan di kefanaan! Di surga bukan di dunia! Ingatlah! Quam cito transit gloria mundi atau betapa cepat kemuliaan duniawi itu lewat.*