P. Silvester Nusa, CSsR, Alumnus Program Pascasarjana Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dosen STKIP Weetebula, Sumba, NTT
Salah satu persoalan yang sering dikeluhkan oleh para guru adalah beban administrasi. Pasalnya, dengan beban ini, mereka merasa lebih sibuk mengurus administrasi daripada melaksanakan tugas pokok sebagai pengajar dan pendidik. Ketaatan pada kurikulum beserta segala jenis administrasinya telah membuat sebagian guru merasa lebih menjadi abdi admnistrasi kurikulum daripada sebagai pelayan peserta didik. Guru kurang memiliki “kemerdekaan” untuk menyesuaikan kurikulum dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik.
Penekanan pada aspek tertib administrasi dan ketataan total pada kurikulum menjadi hambatan bagi sebagian guru dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pembelajaran yang konteksual dan yang sesuai kebutuhan peserta didik.
Peluncuran Kurikulum Prototipe atau Kurikulum Paradigma Baru 2022 oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) merupakan angin segar bagi para guru dalam upaya mengembangkan pembelajaran yang konteksual dan berkualitas. Kurikulum Prototipe bukan menggantikan kurikulum, melainkan merupakan kelanjutan dari arah pengembangan kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum 2013 (K-13).
Usaha pengembangan dan penyempurnaam kurikulum ini berlandaskan pada kondisi dan tantangan dunia pendidikan masa kini dan masa mendatang. Kurikulum Prototipe dirancang agar para guru dapat berinovasi dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik.
Kurikulum Prototipe memiliki beberapa karakteristik utama: Pertama, pembelajaran berbasis proyek untuk pengembangan soft skills dan karakter (iman, taqwa, dan akhlak mulia; gotong royong; kebinekaan global; kemandirian; nalar kritis; kreativitas). Kedua, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Ketiga, fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid (teach at the right level) dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Salah satu karakteristik Kurikulum Prototipe yang memberi ruang kepada guru untuk memulihkan pembelajaran adalah fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid (peserta didik) dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal. Fleksibilitas ini memiliki beberapa keuntungan, seperti guru tidak dikejar-kejar target materi pembelajaran yang padat; guru lebih fokus pada materi esensial yang berorientasi pada kebutuhan dan penguatan karakter siswa; metode pembelajarannya lebih bervariasi.
Selain itu, situasi belajar lebih menyenangkan bagi guru dan siswa; serta guru diberi kesempatan untuk mengeksplorasi potensi siswa lewat berbagai inovasi pembelajaran. Perancangan kurikulum sekolah pun dapat diatur dengan lebih fleksibel.
Dalam Kurikulum Prototipe, tujuan belajar ditetapkan per fase, yakni dua hingga tiga tahun, untuk memberikan fleksibilitas bagi guru dan sekolah. Selain tujuan belajar, jam pelajaran ditetapkan per tahun agar sekolah dapat berinovasi dalam menyusun kurikulum dan pembelajarannya. Dengan kata lain, karakter fleksibilitas kurikulum prototipe memungkinkan guru menjadi guru merdeka.
Apa artinya menjadi guru merdeka? Prof. Richardus Eko Indrajit, dalam sebuah Webinar yang bertema: “Menjadi Guru di Abad 21”, mengemukakan beberapa makna guru merdeka: Pertama, merdeka dalam menentukan tujuan pembelajaran; Kedua, merdeka dalam menentukan strategi pembelajaran; Ketiga, merdeka dalam menentukan model pembelajaran; Keempat, merdeka dalam menentukan bahan pembelajaran; Kelima, merdeka dalam menentukan media pembelajaran; dan Keenam, merdeka dalam menentukan evaluasi pembelajaran.
Makna guru merdeka hendaknya tidak hanya dilihat dari aspek praktis dan perbuatannya, melainkan perlu digali makna terdalamnya dalam hakikat seorang guru sebagai manusia.
Pikiran Menentukan
Menurut Driyarkara (2006:60), jika kita mengamati perbuatan kita yang merdeka, maka tampaklah bahwa ada dua anasir, yaitu anasir pikiran dan anasir kemauan. Tidak mungkin orang mau jika pikiran tidak memperlihatkan apa yang dimaui. Pikiranlah yang mengerti sesuatu; pikiranlah yang memandang hal itu; dan pikiranlah yang menentukan suatu sasaran menjadi sasaran kemauan.
Dengan demikian jelas bahwa pikiranlah yang memberi isi perbuatan kita. Jika pikiran kita telah memberi keputusan bahwa hal ini atau hal itu adalah baik sehingga kita dapat atau harus mau, maka tinggalah merdeka kehendak kita. Artinya, kita masih mempunyai kemungkinan untuk mau atau tidak mau.
Dalam hubungan dengan makna guru merdeka, jika kita mengamati perbuatan guru merdeka, seperti merdeka menentukan tujuan pelajaran, strategi pembelajaran, model pembelajaran, bahan pembelajaran, media pembelajaran, dan merdeka menentukan evaluasi pembelajaran, maka tampaklah bahwa kemerdekaan itu “melibatkan” pikiran dan kemauan.
Jika pikiran guru memberi keputusan bahwa Kurikulum Prototipe adalah baik sehingga guru dapat mau atau harus mau menerapkannya, maka guru menjadikan Kurikulum Prototipe sebagai objek kemauannya. Sebaliknya, jika pikiran guru memberi keputusan bahwa Kurikulum Prototipe bukanlah hal yang baik, maka objek (kurikulum prototipe) yang dihadapi itu sebenarnya bukan objek kemauannya, tetapi hanya sebagai kewajiban.
Guru yang memandang dan menerima Kurikulum Prototipe sebagai sebuah kewajiban, sesungguhnya guru seperti itu bukanlah guru merdeka. Kurikulum Prototipe akan menjadi jalan menuju guru merdeka apabila guru menjadikan Kurikulum Prototipe sebagai objek kemauannya.
Dengan demikian, seorang guru disebut guru merdeka bukan hanya karena diberi peluang oleh Kurikulum Prototipe untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merdeka dalam konteks pendidikan, melainkan lebih dari itu berakar pada hakikatnya sebagai manusia yang berpikir dan berkemauan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Manusia adalah pribadi yang harus berkembang menjadi kepribadian. Kepribadian berarti berdaulat. Berdaulat berarti memiliki kemerdekaan. Manusia-karena ia adalah Pribadi (persona)-ia adalah merdeka (Diryarkara, 2006:61).
Semoga Kurikulum Prototipe menjadi jalan menuju guru merdeka, yaitu merdeka untuk mengaktulisasikan hakikatnya sebagai pribadi (persona) dan merdeka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang berguna bagi peningkatan mutu pendidikan dan mutu manusia muda.