Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada, dan Pemerhati Pendidikan
Tahun 2000-an hingga sekarang, sistem pendidikan dasar dan menengah di Indonesia mengalami perubahan dinamika pembelajaran yang signifikan, mulai dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2004), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, 2006), K-13 (Kurikulum 2013), sampai pada tahun 2021 kurikulum “khusus”, Program Sekolah Penggerak yang kemudian menjadi cikal bakal kurikulum prototipe di tahun 2022.
Dalam kurikulum yang berubah dan berkembang tersebut, peran guru dan unsur pimpinan dalam satuan pendidikan sangat penting karena mereka adalah insan pendidikan yang berupaya keras menerjemahkan maksud dan tujuan kurikulum tersebut dibuat dan diterapkan secara baik di sekolah. Penerapan kurikulum yang berlaku sesuai konteks dan perkembangan sekolah perlu dikomunikasikan dengan orangtua murid, agar kesalahpahaman dan gesekan kepentingan yang dapat merusak relasi dalam mendidik para murid tidak terjadi.
Mitra Utama Orang Tua
Kepala Sekolah dan para guru yang didukung oleh pemerintah atau yayasan-yayasan pengelola lembaga pendidikan merupakan mitra utama orangtua murid dalam mendidik putra dan putri mereka. Relasi pihak keluarga dalam hal ini orangtua murid, sekolah dan masyarakat sekitar perlu dibangun secara baik dan dilakukan melalui cara-cara yang terukur.
Relasi yang demikian terjadi karena disadari bahwa tempat pertama bagi para murid belajar menurut Rishi Singh (2009) adalah rumah mereka sendiri, kemudian sekolah menjadi tempat kedua, dan lingkungan menjadi wilayah interaksi ketiga, tempat para murid aktif hidup bermasyarakat.
Relasi murid dengan rumah, sekolah, dan lingkungan di zaman modern seperti sekarang tidaklah mudah. Banyak tegangan yang membuat para guru di sekolah mengalami kebingungan dalam mendampingi para murid di sekolah.
Ada dua situasi ekstrim yang kadang dijumpai, pertama intervensi orangtua murid tertentu—yang mempunyai paradigma pedagogis sendiri—terlalu kuat ke dalam lingkungan sekolah, yang kadang membuat para pendidik merasa tidak berdaya menghadapi situasi yang problematis. Kedua situasi berbeda seratus delapan puluh derajat, orangtua murid membiarkan begitu saja proses pendidikan anak-anak mereka di sekolah sehingga intervensi sekolah terlalu jauh terhadap pendidikan formatif peserta didik. Akibatnya proses pendidikan terhadap peserta didik berjalan kurang seimbang dan optimal.
Relasi Harmonis
Proses pendidikan yang berlangsung dapat meningkat secara kualitatif jika adanya relasi yang harmonis antara keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Dalam konteks relasi, menurut Sujatha (2011) pendidikan dipahami sebagai kegiatan sosial di mana, selain sekolah, masyarakat termasuk di dalamnya keluarga berperan sebagai fasilitator dan mitra.
Kepala sekolah bersama para guru perlu mengkaji lingkungan, tempat sekolah itu berada agar tercipta relasi yang baik dengan masyarakat. Masyarakat sekitar terdiri dari berbagai kelompok etnis, agama, dan sosial ekonomi yang berbeda yang mungkin mempunyai kepentingan bersama. Mengenali keragaman dalam masyarakat, memahami karakteristik di dalamnya, meninjau komponen keseimbangan potensi, serta tradisi yang ada, menjadi langkah primordial bagi kepala sekolah sebelum memulai membangun relasi.
Menurut Henderson & Marburger (1986) kepala sekolah dan para guru perlu memastikan bahwa keterlibatan orangtua murid dan masyarakat di sekolah direncanakan dengan baik, komprehensif, sistematis, dan sesuai untuk berbagai macam keluarga.
Program yang efektif di sekolah hendaklah menghormati dan memanfaatkan kekuatan semua orangtua murid, terlepas dari berapa besar pendapatan orangtua, pendidikan, atau status sosial (Zeldin, 1989) untuk membentuk kemitraan yang kuat. Oleh karena itu, orangtua murid dan para guru perlu memahami pedagogis yang memadai untuk dapat bersinergi secara baik. Orangtua murid perlu diberikan penjelasan secara memadai terkait dengan maksud dan tujuan sekolah tersebut diselenggarakan pada saat awal pertemuan, yaitu pada saat Penerimaan Murid Baru (PMB).
Kejelasan visi dan misi sekolah yang dipahami kedua belah pihak akan mewujudkan gerak bersama dalam menyukseskan program pendidikan yang diadakan oleh sekolah. Visi dan misi sekolah yang teruji membuat orangtua mempercayai putra dan putri mereka untuk bersekolah di tempat itu, karena jika orangtua salah memilihkan sekolah dapat berdampak buruk bagi perkembangan buah hati mereka.
Hak Memilih
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa sebagai Resolusi 217 pada 10 Desember 1948, pasal 26 ayat 3, “Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given to their children.”, hak utama memilihkan sekolah bagi anak-anak mereka ada di pihak orangtua. Para orangtua perlu melakukan diskresi, merenung secara mendalam untuk memilih sekolah mana yang dipilih. Mereka dengan cermat memilihkan sekolah yang berkualitas, dan setelah dipilih mempercayakan pihak lembaga mendidik putra dan putri mereka.
Orangtua murid tidak perlu mengintervensi terlalu jauh kebijakan sekolah, tetapi tetap dengan seksama memantau perkembangan anak mereka supaya dinamika pembelajaran dapat berjalan normal dan optimal.
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, orangtua murid dan para pendidik merupakan tokoh-tokoh kunci dalam mendidik putra dan putri mereka. Mereka adalah para pahlawan sesungguhnya yang secara sinergis berupaya mendidik para murid di rumah dan di sekolah. Relasi yang bersifat formatif antara orangtua murid, sekolah dan masyarakat dilakukan secara sistemik dan berkesinambungan guna meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah.
Masyarakat dan orangtua murid tidak boleh abai memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak bangsa yang sedang bersekolah dan dididik secara formal di bangku-bangku sekolah. Relasi formatif para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan merupakan hal yang penting dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Semoga upaya ini berhasil, dan Indonesia mempunyai generasi penerus yang maju, berdikari, dan mencintai bangsa sendiri sebagai saudara seperjuangan guna mewujudkan Indonesia yang jaya dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.*