Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Orang Yahudi mengenal konsep “pertobatan” yang sangat mungkin diadopsi juga oleh orang Kristen. Konsep pertobatan Yahudi pada zaman Yesus dikenal dengan istilah TESHUVÀ. Teshuva adalah konsep kunci dalam pandangan para rabi tentang dosa, pertobatan, dan pengampunan.
Para rabi Yahudi mengajarkan bahwa pertobatan membutuhkan lima elemen: pengakuan akan dosa seseorang sebagai dosa; penyesalan karena telah melakukan dosa; berhenti mengulangi dosa ini; ganti rugi untuk kerusakan yang dilakukan oleh dosa jika memungkinkan; dan pengakuan.
“Pengakuan” bagi orang Yahudi memiliki dua bentuk: ritual dan pribadi. Pengakuan ritual terjadi saat pembacaan liturgi pengakuan pada saat-saat yang tepat dalam kehidupan doa komunitas. Pengakuan pribadi terjadi sebagai komunikasi pribadi di hadapan Tuhan sesuai kebutuhan atau bisa juga memasukkan pengakuan pribadi ke dalam liturgi pada saat-saat yang ditentukan.
Seseorang yang mengikuti langkah-langkah teshuvá ini disebut sebagai “peniten.”
Sebenarnya, ungkapan atau ajakan untuk bertobat yang dilontarkan Yesus kepara pendengarnya yang adalah Yahudi seperti itu caranya. Bukan sesuatu yang baru atau asing.
“Jikakalau kamu tidak BERTOBAT, maka kamu semua akan binasa dengan cara demikian” (Luk 13,3).
“Bertobat” (dalam bahasa Yunani, “metanoia”), menyiratkan tidak hanya penyesalan atas masa lalu tetapi pertobatan radikal dan perubahan total dalam cara hidup kita saat kita menanggapi dan membuka diri terhadap kasih Allah.
Pertobatan, atau berpaling dari satu jalan ke jalan lain, bukanlah terutama menemukan Tuhan. Yang lebih tepat adalah “ditemukan oleh Tuhan”. Pertobatan ibarat, berjalan satu langkah menuju Tuhan dan Allah berjalan sembilan langkah menuju kita.
Yesus memanggil kita hari ini untuk “bertobat” – bukan tentang perubahan hati satu kali saja, tetapi transformasi hidup kita setiap hari secara berkelanjutan.
Thomas Merton menulis: “Kita bertobat tidak hanya sekali dalam hidup, tetapi berkali-kali, sebuah seri pertobatan, kecil dan besar, tanpa akhir. Sebuah revolusi mendalam yang membimbing kita pada transformasi dalam Kristus”.
Bertobat bukan karena adanya ancaman malapetaka, kematian atau neraka. Malapetaka atau kematian tidak selalu menjadi hukuman atas dosa. Dosa dapat menuntun orang pada tragedi, tetapi tidak semua tragedi hidup terjadi karena dosa.
Bertobat lebih karena menyadari CINTA TUHAN, yang selalu setia menunggu dan mengampuni kembali. Pertobatan sejati inilah yang bisa menghasilkan buah yang baik.
Orang yang pulang ke rumah karena ketakutan berbeda dengan orang yang pulang ke rumah karena menyadari disitu ada cinta dan belaskasihan.
Pulanglah sebelum terlambat karena tragedi atau kematian bisa terjadi kapan saja dan dengan cara apa saja.
Ada seorang gadis yang bercerita kepada pastornya tentang dosa kesombongan. Dia berkata: “Setiap hari minggu, saat di dalam Gereja dan melihat sekeliling, saya selalu berpikir bahwa saya adalah gadis paling cantik di situ. Saya selalu berusaha untuk tidak berpikir demikian tapi tidak bisa. Apakah ini termasuk dosa besar?”
Pastor menjawab: ” Itu bukan dosa besar, anakku, tapi hanya sebuah kesalahan besar”.
Salam hangat dari Biara Novena Maria MPS (Madre del Perpetuo Soccorso”), Kalembu Nga’a Bangga (KNB), Weetebula, Sumba “tanpa wa”.