Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Gary Dearing menceritakan sebuah kisah tentang Kolonel Angkatan Udaranya, yang menjabat sebagai inspektur jenderal komandonya, dan memberi perhatian khusus pada bagaimana personel mengenakan seragam mereka.
Pada suatu kesempatan Kolonel melihat seorang penerbang junior melakukan pelanggaran. “Penerbang,” dia berteriak, “Apa yang Anda lakukan ketika saku kemeja tidak dikancingkan?” Penerbang yang terkejut itu menjawab, “Kancingkan, Pak!”
Kolonel menatap matanya dan berkata, “Lalu!”
Mendengar itu, penerbang dengan gugup meraih dan mengancingkan saku baju Kolonel.”
Kisah Yesus dan wanita pendosa ini ada dalam Injil Yohanes 8,1-11 saat ini. Kisah ini tidak dapat disangkal kaya akan makna teologis dan moral, dan penuh drama psikologis dan manusiawi.
Dalam episode ini Yesus tampak terlalu “lunak” terhadap dosa. Mungkin karena alasan ini, cerita itu untuk sementara dikesampingkan oleh Gereja awal (tidak ditemukan dalam manuskrip Yohanes yang tertua) dan baru kemudian diterima sebagai kisah yang kanonik.
Benarkah Yesus lunak terhadap dosa? Sebetulnya tidak demikian. Pertama, tuntutan para Ahli Taurat dan orang Farisi sebetulnya tidak terlalu fair. Jika merujuk pada hukum Musa, maka yang harus dihukum bukan hanya wanita melainkan juga pelaku pria. (Im 20:10; Ul 22:22). Nyatanya mereka hanya berani dengan wanita lemah. Kedua, tidak ada contoh tentang perlakuan demikian untuk yang berzinah. Melempari batu sampai mati biasanya terjadi kepada orang yang menghujat atau menghina.
Ada ungkapan yang berbunyi: “Adalah hal yang buruk jika seorang berdosa jatuh ke tangan sesama pendosa” (F.B.Meyer). Artinya, keadaan bisa lebih mengancam nyawa karena yang jadi hakim adalah penjahat sendiri.
Jebakan mereka pada Yesus nampaknya sulit dihindarkan. Akan tetapi Yesus terlalu pintar untuk dijatuhkan dengan strategi macam ini.
Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu. (Yoh 8:7).
Kata-kata-Nya bagaikan peluru yang menembak relung kesadaran mereka. Alih-alih memusatkan seluruh perhatian, energi dan kemarahan kepada wanita yang berdosa, Yesus menuntut mereka untuk melihat diri sendiri, merenungi diri sendiri: apakah aku juga orang berdosa?
Santo Agustinus dengan indahnya menggubah kata-kata Yesus dengan nada lain: “Silahkan wanita ini dihukum, tapi jangan oleh pendosa. Hukum harus dilaksanakan, tapi jangan oleh mereka yang melanggarnya”.
Kalimat Yesus membuat para penyerangnya menjadi terdiam. Lalu pergi diam-diam, mulai dari yang tertua sampai yang muda.
Kalima Yesus berikutnya: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”. Mungkin ada yang menganggap bahwa Yesus terlalu lunak. Tetapi dengan mengatakan secara tegas, “Jangan berbuat dosa lagi”, Yesus mengakui bahwa wanita itu memang berbuat dosa. Yesus tidak menyangkal dosa wanita itu.
Yesus saat itu tidak mau fokus pada dosa wanita itu, karena Yesus tahu pengalaman wanita itu, mulai dari penangkapan dan diseret ke depan Yesus sambil diteriaki, sudah menjadi trauma tersediri baginya. Semua itu sudah cukup sebagai hukuman bagi wanita ini.
Rangkaian kisah dramatis ini mengajarkan kita tentang kemurahan hati Allah yang luar biasa. Paus Fransiskus dalam khotbah minggu perdana setelah dilantik sebagai Paus mengatakan: “Allah tidak pernah lelah mengampuni kita,…kitalah yang justru lelah memohon ampun kepada-Nya”.
Rumah adalah sekolah pertama orang Kristiani untuk belajar cinta dan pengampunan. Jangan biarkan anak-anak keluar dari rumah sebelum lulus ujian ini.
Salam dari Kuta, Bali