Sat. Nov 23rd, 2024

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

Lukisan “The Last Supper” yang terkenal itu dibuat oleh Leonardo da Vinci dari Italia. Konon, untuk setiap wajah dalam lukisan itu dia mencari model dari pria yang ada di Roma saat itu. Untuk wajah Yesus dia menggunakan model seorang anak muda umur 19 tahun. Butuh waktu 6 bulan baginya untuk melukis Yesus dalam gambar itu.

Kemudian satu persatu dia melukis wajah para rasul. Setelah tujuh tahun, tibalah giliran terakhir  mencari wajah yang cocok untuk Yudas Iskariot. Dia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain berhari-hari.

Akhirnya dia menemukan seorang pria menggelandang di sudut kota Roma. Dia belum lama keluar dari penjara. Penampilannya dianggap cocok mewakili wajah Yudas Iskariot. Dia diminta untuk menjadi model Yudas Iskariot.

Setelah selesai dilukis, pria itu berkata kepada Leonardo: “Apakah engkau tidak mengenal aku lagi?” Leonardo menggeleng. Pria itu berkata sambil menangis: “Akulah yang menjadi model Yesus tujuh tahun lalu. Oh Tuhan, aku ternyata sudah jatuh terlalu dalam!!”.

Tradisi Perayaan Ekaristi bisa dirunut jauh ke belakang pada masa Kain dan Habel. Sebagai gembala, setiap tahun Kain mempersembahkan domba terbaik sebagai syukur atas berkat Allah. Upacara ini disebut Pesakh dalam bahasa Ibrani. Cikal bakal kata Paskah dalam tradisi Kristen.

Habel sebagai petani juga mempersembahkan hasil terbaiknya berupa roti tak beragi. Kebiasaan ini dikenal dengan nama Massoth.

Perayaan Paskah orang Yahudi pada zaman kemudian merupakan gabungan dari kedua tradisi kuno ini. Perayaan ini mendapat nilai baru karena saat pembebasan orang Yahudi dari perbudakan Mesir diawali dengan perayaan makan paskah bersama. Paskah lalu menjadi kenangan akan pembebasan.

Tradisi Kristen sekali lagi memberi arti baru karena peristiwa puncak kehidupan Yesus terjadi pada saat perayaan ini. Di sekitar Paskah Yahudi, Yesus makan bersama murid-murid-Nya kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Kebangkitan-Nya pun terjadi masih dalam suasana Paskah.

Pada momen itulah, Seder yang terakhir, Yesus memberikan diri-Nya sebagai kurban pengganti domba paskah, karena saat perjamuan itu tidak ada kurban Paskah yang biasanya dipersembahkan. Yesus mengambil roti dan anggur dengan seruan legendaris yang selamanya hidup dalam hati orang-orang Kristen sampai saat ini: “Inilah tubuh-Ku! Inilah darah-Ku! Makan dan minumlah!”

Yesus bisa saja cukup meninggalkan ajaran-ajaran-Nya yang kemudian menjadi Kitab Suci seperti dimiliki agama-agama besar saat ini. Yesus bisa saja membangun sebuah monumen sejarah yang nampak dan bisa menjadi warisan dunia.

Namun Yesus memilih memasuki pribadi manusia dan mengubahnya dari dalam. Melalui santapan ekaristi, tubuh dan darah Yesus, yang tampak dalam rupa roti dan anggur, Yesus ingin menjadi daging dan darah setiap pribadi yang menerimanya. Dengannya proses transformasi menjadi manusia baru lebih mungkin dan lestari.

Proses evolutif bahkan kadang revolutif menjadi semakin serupa dengan Kristus (Imitatio Cristi) telah melahirkan pribadi-pribadi agung dalam sejarah kekristenan.

Mereka yang menerima tubuh dan darah Kristus dan menjadi satu dengan Kristus adalah:

  • Mereka yang menerima setiap penderitaan sebagai partisipasi dalam jalan salib Yesus.
  • Mereka yang melayani sesamanya bahkan yang paling rendah dan hina tanpa pamrih, tanpa pamer dan tanpa mengharapkan apa-apa.
  • Mereka yang tidak membalas setiap cambuk atau pukulan penghinaan dari orang lain walaupun sesungguhnya dia tidak pantas menerimanya.
  • Mereka yang berani meninggalkan segala kenyamanan dan kemegahan dunia demi saudara-saudari yang miskin dan terlantar.
  • Mereka yang selalu mengucap syukur betapa pun beratnya beban kehidupan karena menyadari inilah cara Allah memakai dia sebagai alat-Nya.
  • Mereka yang tak pernah lelah menolong dan membela orang-orang yang diperlakukan tidak adil dan yang dikuasai oleh orang lain.
  • Mereka yang telah menerima wajah Yesus dalam dirinya dan hidup dalam Yesus, tak mungkin berubah menjadi wajah Yudas, apa pun yang terjadi dalam hidupnya.

Salam Putih dari Biara Novena Maria “Madre del Perpetuo Soccorso” (MPS), Weetebula, Sumba “tanpa wa”.

Related Post