Fri. Nov 22nd, 2024

Sumbangan Flores bagi Lahirnya Dasar Negara Pancasila

Dr. Bambang Noorsena

Oleh Dr. Bambang Noorsena*

Ketika dibuang ke Ende, Bung Karno terinspirasi sosialisme Katolik dalam ensiklik Rerum Novarum (Zaman Modern) yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII, pada tanggal 15 Mei 1891.

Pandangan Rerum Novarum sejalan dengan pemikiran Bung Karno, karena mengupas habis kelemahan kapitalisme, yang sudah menjadi perhatian Bung Karno dalam tulisan-tulisannya sebelum menjalani pengasingan di Ende.

Pada 15 Mei 1931, tiga tahun sebelum Bung Karno dibuang ke Ende tahun 1934, Paus Pius XI, dalam rangka memperingati 40 tahun Rerum Novarum, mengeluarkan ensiklik Quadragesimo Anno, yang meneguhkan ajaran sosial gereja yang dikeluarkan sebelumnya oleh Paus Leo XIII bahwa keadilan sosial harus bertitik-tolak dari konsep tentang hak milik (ius proprietatis).

Intinya, dalam hak milik terdapat juga milik sesama kita secara bersama-sama, karena itu kita tanpa ragu harus mau berbagi dengan orang lain apabila mereka membutuhkannya.

Meski demikian, ide kepemilikan kolektif dalam komunisme juga laksana obat yang jauh lebih berbahaya ketimbang penyakitnya sendiri.

Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota dan Pater Yosef Seran, SVD pengelola Serambi Soekarno.

Karena itu, ada aspek sosial yang harus dipertimbangkan di samping aspek personal, karena “dalam hak milik pribadi terdapat juga hak sesama yang harus dibagikan” (ius domini privati hominibus tributum).

Gagasan ini menjadi dasar Keadilan Sosial (bahasa Latin: “Iustitia Socialis”), seperti disebutkan dalam ensiklik Rerum Novarum, yang digemakan kembali dalam gagasan Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 diterjemahkan dalam bahasa Belanda: Sociale Rechtvaardigheid (Keadilan Sosial).

Jadi, meskipun dalam penyebutan sila-sila Pancasila Bung Karno menyebut Kesejahteraan Sosial, namun dalam uraian lebih lanjut Bung Karno menyebut juga istilah Keadilan Sosial.

Bung Karno melihat bahwa dari konteks bangsanya berbeda dengan perjuangan kaum proletar menghadapi kaum borjuis yang menghisapnya. Sama-sama miskin, berbeda dengan proletar tidak mempunyai apa-apa kecuali mengandalkan tenaganya, sedang kaum miskin Indonesia masih punya tanah harapan, tetapi tetap miskin karena masih terjadi eksploitasi manusia atas manusia lainnya.

Itulah yang digagas Bung Karno sebagai Marhaenisme, yang juga disuarakan dalam pledoinya di depan pengadilan kolonial Bandung tahun 1930, yang akhirnya dikenal sebagai “Indonesia Menggugat”.

Bung Karno menyampaikan gagasannya dalam bahasa yang mudah di mengerti, ketika mengangkat tema Ratu Adil. “Ratu Adil ialah Sociale Rechtvaardigheid”, tegas Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila, “Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada Keadilan”.

Perlu dicatat pula, dalam pidatonya “Indonesia Menggugat” di gedung Den Landraad te Bandoeng (Pengadilan Negeri di Bandung), tanggal 2 Desember 1930, Bung Karno juga panjang lebar menguraikan konsep Ratu Adil, tetapi belum menggunakan istilah bahasa Belanda Sociale Rechtvaardigheid.

Fakta ini membuktikan bahwa konsep “Keadilan Sosial” dalam Pancasila memang terinspirasi oleh ajaran sosial gereja Quadragesimo Anno, khususnya istilah dalam bahasa Latin Iustitia Socialis (Keadilan Sosial). Gagasan ini akhirnya menjadi sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial bgai seluruh rakyat Indonesia”.

Dr. Bambang Noorsena, Pendiri Institute for Syriac Culture Studies (ISCS). Sejak akhir 1997, setelah mempelajari dari dekat gereja-gereja Arab di beberapa negara di Timur Tengah, ISCS menawarkan kekristenan Syria sebagai wacana dalam menembus “kebuntuan dialog teologis Kristen-Islam”

Related Post