JAKARTA, TEMPUSDEI.ID-Ketika berbicara dalam sarasehan bertajuk Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara dan Relevansinya dalam Kehidupan Bersama di Gedung Nusantara IV, Kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6/2022), Direktur Institut Filsafat Pancasila Yoseph Umarhadi mengatakan, Pancasila harus menjadi urusan dan perbincangan masyarakat, menjadi kerangka berpikir dan bertindak dan dengan sendirinya menjadi gaya hidup Masyarakat Indonesia. Pancasila harus membumi.
“Membumikan Pancasila berarti mengupayakan bagaimana manusia Indonesia menjadi manusia Pancasila,”ujar Yoseph.
Yoseph mengakui, perbincangan tentang Pancasila saat ini sudah mulai bergairah kembali karena MPR RI menjalankan fungsi sosialisasi. Namun, Pancasila mas
ih menjadi domain elite politik di Senayan (para wakil rakyat).
“Pancasila sebagai dasar filsafat negara seolah-olah hanya penting bagi elite politik sehingga perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka mengerti,”ujar pria yang pernah menjadi anggota DPR RI sejak 1999 – 2019.
Masyarakat, menurut Yoseph, harus kita ajak untuk merefleksikan tindakan-tindakan dan nilai-nilai yang dipegangnya. Serta sejauh mana tindakan dan nilai-nilai itu merupakan realisasi atas Pancasila.
Sarasehan yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Institut Filsafat Pancasila ini juga menghadirkan Guru Besar Filsafat Profesor Franz Magnis Suseno, Yudi Latief, dan artis Cinta Laura.
Senada dengan Yoseph Umarhadi, Mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) 2017-2018 Yudi Latief mengungkapkan bahwa hari-hari besar kenegaraan seperti hari lahir Pancasila meupakan momen terbaik untuk melakukan refleksi diri.
“Untuk menyadari kembali dari mana kita bermula, dimana kita sekarang dan kemana kita menuju,”ujar Doktor di bidang Sosiologi Politik dan Komunikasi dari Australian National University ini.
Dari proses refleksi ini, kata Yudi diharapkan Rakyat dan Bangsa Indonesia mengenali apa kelebihan dan kekurangan sebagai bangsa. Pelajaran baik dari masalah lalu yang harus dipertahankan dan yang buruk harus ditinggalkan, kata Yudi.
“Kedua kita juga harus tahu akan menuju kemana. Karena itu kita senantiasa terbuka pada perkembangan, praktik terbaik yang dikembangkan oleh umat manusia di manapun di muka bumi untuk memperkaya mutu kemanusiaan dan keadaban kita,”tutur Yudi menegaskan.
Tiga Ancaman
Dalam kaitannya dengan menyadari posisi bangsa itulah, Profesor Frans Magnis mengutarakan tiga ancaman terhadap Pancasila. Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini mengungkapkan bahwa ada penganut ideologi-ideologi eksklusif sempit yang mau menggantikan Pancasila dengan ideologi mereka, sering suatu ideologi agamis. Inilah ancaman pertama, kata Magnis.
“Yang kedua, Pancasila jangan sampai dibajak oleh elite politik untuk melindungi privilese-privilese mereka. Dan yang ketiga, Pancasila dianggap omongan orang-orang di atas saja, tanpa relevansi pada kesejahteraan dan keselamatan orang kecil. Kalau Pancasila mau diselamatkan, tiga ancaman ini harus ditanggapi,”ujar Magnis.
Magnis menyatakan bahwa yang harus dilakukan adalah mewujudkan keadilan sosial. Katanya, perpecahan bangsa yang paling berbahaya adalah perpecahan vertikal.
“50 persen bangsa kita belum betul-betul sejahtera, dan 10 persen bangsa kita masih hidup dalam kemiskinan absolut. Kalau mereka mendapat kesan bahwa keindonesiaan, pembangunan, kemajuan hanya demi kepentingan yang di “atas”, Indonesia berada dalam masalah besar,”ujar Magnis.
Kalau orang kecil, mendapat harapan akan masa depan lebih baik, kata Magnis, Bangsa Indonesia tidak perlu khawatir bahwa mereka akan tergoda oleh ideologi lain yang antipancasila. Pandangan Magnis senada dengan Yoseph yang menyebutkan bahwa merealisasikan Pancasila berarti merealisasikan kodrat manusia untuk mencapai kebahagian.
Tiga Usulan
Yoseph Umarhadi mengusulkan setidaknya tiga hal agar Pancasila menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Pertama, membuat kajian terus-menerus mengenai Pancasila dan Filsafat Pancasila. Kajian ini harus berpijak pada Pancasila sebagai yang hidup dalam masyarakat ratusan tahun lampau dan telah dirumuskan sebagai dasar negara. Kajian-kajian ini, menurut Yoseph penting dilakukan agar diskursus mengenai Pancasila terus hidup dan bersaing dengan diskursus-diskursus lainnya.
Kedua, menggunakan Pancasila sebagai objek formal dalam melihat kebijakan. Setiap kebijakan yang dibuat pemerintah atau pembuat keputusan harus dievalusasi berdasarkan Pancasila. “Baik buruknya kebijakan harus diukur berdasarkan nilai-nilai Pancasila,” ujar Yoseph.
Ketiga, menggunakan pendekatan reflektif. “Pendekatan ini penting dilakukan karena didasari asumsi bahwa ada banyak praktik baik yang sebenarnya merupakan realisasi Pancasila, tetapi hal itu tidak disadari sebagai implementasi atau realisasi Pancasila,” ujar Yoseph. (tD/*)