Fri. Nov 22nd, 2024

IN MEMORIAM HELENA DEWI JUSTICIA: PELANGI SESUDAH HUJAN

Mendiang Helena (foto: bersatoe.com)

Oleh Eka Budianta

Misa pelepasan jenasah Helena Dewi Justicia diadakan di Gereja Maria Bunda Karmel (MBK), Paroki Tomang, Jakarta Barat.  Romo Valentinus Untung Polo Maing O’Carm berkata, “Tidak ada habisnya bicara tentang Ibu Helena.”  Dalam homili hari itu, Rabu 8 Juni 2022, Pastor juga menyatakan bahwa Helena seperti Bunda Maria yang tetap tabah mendampingi putranya disalib. Sebab percaya bahwa setelah hujan (penderitaan) langit akan cerah.

Sungguh benar sekali. Helena wafat Senin 6 Juni pagi-pagi dan dikremasi di Oasis Lestari dua hari berikutnya.   Hari pertama kami tidak bisa langsung ke Rumah Duka, tapi mengikuti misa requiem secara daring, bersama sekitar 70 orang peserta.  Bila ditambah yang hadir langsung mungkin 150 orang, berlangsung khidmat dan mengharukan.

Hari berikutnya, Selasa malam ada misa tutup peti, saya juga mengikuti secara daring.  Baru hari ketiga, saya dan Melani – istri saya,  hadir dalam misa luring di gereja MBK yang megah itu.

Selama hidupnya, hanya beberapa kali saya bertemu Helena.  Meskipun begitu, saya merasa punya catatan istimewa dan harus ditulis.  Maka saya kontak teman yang mengelola media daring, TempusDei, bernama Emanuel Dapa Loka. “Saya tidak mengenal secara pribadi.  Hanya sering dengar Namanya. Ikut berdoa untuk keselamatan jiwanya,” jawab aktifis dari Sumba itu.  Lalu saya kirim tautan yang memuat karya-karya Helena dari laman Pengarang Bersatoe.Com.

Saya tambahkan “Layak dibuat obituari untuk TempusDei” dengan emotikon sebuah hati. Ternyata Emanuel menjawab, “Saya tidak punya cukup bahan, kalau Bapak Eka punya bahan, tolong dituliskan.”  Setelah mengikuti ibadah requiem secara daring itu, saya kirimkan obituari singkat. Diterima dengan senang hati oleh Emanuel, dengan komentar “Mbak Helena seorang pencerah.” Isi selengkapnya berikut ini:

MENGENANG HELENA DEWI JUSTICIA

Posting terakhir Helena Dewi Justicia, Jumat 11 Maret 2022 tentang Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang sangat bersejarah.  Helena mengingatkan Supersemar ditanda-tangani oleh Bung Karno.  Begitu tulisnya di Laman Perpustakaan St. Andreas tempatnya bertugas sebagai pustakawati.   Berikutnya dia tambahkan, hari itu umat Katolik berpantang makan daging. “Sama dengan pasien kanker,” katanya.

Setelah itu dia tidak menulis lagi, akibat koma sampai Senin, 6 Juni 2022 diberitakan wafat pukul 04 pagi, dalam usia 50 tahun.  Siapakah Helena?  Pertama kali bertemu dalam Lokakarya Lingkungan di Malang, saya terpana.  Dia narasumber tetap tenang menghadapi serangan “penyelundup” yang jelas-jelas datang untuk mengacau pertemuan itu.  Saya juga pembicara, satu panel bersama Helena.  Bedanya saya sangat panik dan ketakutan saat 3 atau 4 orang berteriak-teriak menganggap kami mengekor program pemerintah.

Helena tenang sekali, terus mencatat usul-usul yang masuk, tanpa menghiraukan teriakan-teriakan para pengacau.  Setelah merasa diabaikan, para pengacau itu meninggalkan ruangan. Lokakarya dapat diselamatkan.  Kesan mendalam itu perlu dicatat sebagai prestasi penting bagi perempuan kelahiran Malang, 3 Februari 1972.  Saya baru maklum karena ternyata dia lulusan S-2 Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia.

“Helena itu sangat cerdas. Rumahnya seperti gudang buku,” kata Bambang Sasmita Utomo pakdenya. “Helena memang pejuang literasi yang menghimpun buku dari berbagai sumber untuk dikirimkan ke daerah-daerah terpencil.” Sebelum pindah ke Jakarta, Helena menyelesaikan S-1 di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jember, Jawa Timur.  Selama beberapa tahun, Helena tinggal di rumah kakak dari ibunya itu.

Ayah Helena adalah J.A. Noertjahjo, pensiunan wartawan Kompas dan pejuang kemanusiaan dari kota Malang.  Dari ayahnya Helena mewarisi bakat mengamati lingkungan dengan seksama dan menyukai sejarah.  Helena suka mencatat teladan para pahlawan, termasuk R.A. Kartini dan para misionaris yang bekerja di berbagai daerah.  “Dalam penderitaan Bersama, akan tercapai saling pemahaman,” tulisnya dalam laporan bertajuk Pandemi Bukan Berarti Terhentinya Empati.

Sebagai penulis, Helena sering meliput kegiatan rohani termasuk ke pulau-pulau di Nusa Tenggara.  Dalam esainya terakhir tentang perayaan Natal 2021, Helena mencatat, “Umat Katolik dipanggil untuk lebih memperhatikan dan membantu mereka yang kecil, lemah, miskin, sakit, tersingkir dan difabel.”

Helena meninggalkan suami bernama Deuxiemanto yang bekerja di sebuah penerbit terkenal.  Adiknya, bernama Indra Nurpatria meneruskan Facebook Helena selama tidak sadar sejak bulan Maret lalu.  Atas nama keluarga, Indra berterima kasih untuk doa dan perhatian para rohaniwan serta teman-teman Helena.  Jenasah aktifis literasi yang sangat berbakat itu akan dikremasi hari Rabu, 8 Juni 2022 di Oasis Lestari, Tangerang.

Semoga ketenangan dan kesungguhan Helena menjadi inspirasi bagi generasi penerus.  Selamat beristirahat dalam damai abadi.  Teladanmu tidak akan kami lupakan. (Tayang di www.tempusdei.id pukul 22:36 Senin, 6 Juni 2022)

Helen, Requiescat in pace. (ist)

KANKER DARAH DAN KEHENDAK ALLAH

Beruntung dalam misa virtual itu saya “bertemu” dengan Pakdenya Helena, yaitu Bapak Bambang Sasmita Utama.  Setelah misa bisa saya telpon sebentar, untuk menanyakan tanggal lahir dan lainnya.  Tetapi, karena buru-buru,  “obituari singkat” tulisan saya itu jauh dari lengkap.  Setelah diunggah dalam ke dalam beberapa grup WA, sejumlah pertanyaan bermunculan.

“Helena sakit apa?”  tanya Shierly Novalita Yappy, teman  penulis dan dosen di Surabaya.

“Siapa itu Helena?” tukas Cik Bie Tien tokoh yang saya segani di Grup WA Alumni Ikesa (Ikatan Keluarga Santo Albertus) – SMAK Dempo, Malang.

“Mengapa tidak dituturkan penyebab kematiannya?” selidik Doddi Ahmad Fauzi, pejuang literasi yang terkenal di Jawa Barat.

Selain lebih dari seratus ungkapan turut berduka-cita, saya mendapat banyak pertanyaan serupa.

Waduh!  Ternyata saya tidak menyinggung sakitnya sama sekali.  Mungkin saya memang tidak tahu – selain mendengar bahwa sudah lama dia menderita karena kanker darah.  Mungkin juga saya ingin menghindari kenyataan bahwa Helena sudah dalam keadaan koma cukup lama.  Hemat saya, kisah penderitaannya tidak perlu diperpanjang.  Saya hanya ingin mengenang hidupnya yang patut diteladani dan disyukuri.

Pertama, secara tidak sadar, saya telah mengabaikan kaidah jurnalistik 5 W + 1 H (Who, what, where, when, why dan how) – Siapa, apa, di mana, kapan, mengapa dan bagaimana itu!

Kalau ini ujian jelas “laporan” saya tidak bisa dibenarkan.  Padahal, menulis obituari – adalah tugas yang sangat menentukan kalau mau lulus dari sekolah jurnalistik. Belakangan, setelah kremasi selesai, baru saya sempat tanyakan kepada sumber yang paling saya percaya, yaitu Bapak J.A. Noertjahjo.

“Wah! Ceritanya Panjang,” jawab ayah Helena, yang juga sobat ayah mertua saya Paulus Johari Pranaya (1919-2004). “Sejak akhir 2019, Helena terkena lymphoma.  Tumor atau kanker darah itu bersarang di otaknya.  Awalnya Helena tidak mau dioperasi, sampai satu tahun ia menjalani terapi herbal.  Putri kami itu lebih percaya pada kehendak Allah.  Baru setelah diyakinkan oleh seorang Rohaniwan bahwa pengobatan dan teknologi modern pun sesuai dengan ajaran agama dan kehendak Tuhan, Helena bersedia diopname.”

Memang ceritanya dramatis dan prosesnya panjang.  Suatu hari Helena sempat pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit, sehingga bisa dipindai kondisi otaknya. Maklum, sekitar satu tahun Helena lebih suka berobat secara tradisional. Dokternya  bilang bahwa tumornya menjadi tiga kali lebih besar dibandingkan pada saat bertemu pertama.  “Sekarang Helena sendiri yang menentukan.  Bukan suami, bukan ayah, bukan juga pastor,” begitu kata Johanes Agustinus Noertjahjo menirukan dokter terkenal yang memeriksa putrinya.

Setelah itu, Helena mendapat perawatan yang lebih serius, terutama karena sering pingsan.   “Terakhir kali tidak sadarkan diri mulai Kamis Putih 14 April 2022.” Begitu kata Pak Noer yang setelah Helena meninggal, bertekad pindah ke Jakarta dan menjual rumahnya di Malang.

Kedua, saya juga tidak menjelaskan siapa Helena, apa kompetensinya dan mengapa kita perlu mengenalnya.  Seolah-olah saya merasa semua sudah mengenal Helena.  Dari pagi buta, selang dua jam setelah dikabarkan wafat sekitar pukul empat, sudah muncul tulisan dari Sutriyono  Robert, aktifis Komunitas Deo Gratias. Dia menceritakan persahabatan Helena dengan seorang Rohaniwan di Purwokerto yaitu Romo Blasius Slamet Lasmunadi, Pr.

“Ketika Rm Slamet meninggal pada Agustus 2010, Mbak Helena datang melayat di Purwokerto,” tulis Sutriyono.  Sungguh luar biasa karena persahabatan yang hanya berlangsung secara virtual, melalui Facebook, berakhir indah, ketika salah seorang meninggal dunia. Sahabat sejati itu hadir untuk memberi penghormatan terakhir.  Kesungguhan hati seorang Helena semakin saya sadari, ketika mendengar khotbah, “Ibu Helena seperti Bunda Maria yang tetap tabah melihat Yesus, putranya, tergantung di kayu salib.”

Ketiga, saya seharusnya menjelaskan mengapa saya dan Helena sebagai narasumber mendapat gangguan berupa cemooh dalam lokakarya lingkungan di Malang.  Sebenarnya saya ingin melupakan saja pengalaman yang kurang menyenangkan itu.

Kita tahu, Helena dikenal sebagai editor dan fotografer yang sangat kompeten.  Dia menjadi konsultan dan penulis untuk berbagai penerbitan jurnal dan buku.

Lebih dari itu, ternyata ia sangat presisten dan konsisten. Keteguhan dan ketenangannya ketika diolok-olok (diurak, istilah di Malang) patut dicatat, diteladani dan dikagumi.

Sebagai mantan pemimpin redaksi majalah lingkungan Pancaroba (1994-1999) saya mempunyai standar klasik yang sama dengan Helena. Setiap tulisan perlu memberikan pesan yang jelas dan solusi.  Setiap foto yang dimuat sebagai ilustrasi diusahakan menyentuh, indah dan menginspirasi.  Hingga awal tahun 2000-an, komunikasi lingkungan berusaha memberi kesadaran secara lembut.  Tidak mungkin dan tidak boleh kita memuat foto yang jorok, semisal tukang sampah menyantap makanan yang sudah dibuang.

Dengan menyarankan kebenaran yang klasik dan romantis itu saya dan Helena jelas bisa dikecam terlalu idealis dan tidak realistis.  Tetapi demikianlah yang kami yakini benar, perlu ditindak-lanjuti dan dikembangkan.  Pada saat lokakarya itu, contoh-contoh terbaik sangat diperlukan dan dipromosikan sebagai “best practices”.

Sayangnya, hal itu dimanfaatkan oleh para “pengacau” untuk menyerang kami sebagai pemrasaran.  Sekarang saya bersyukur justru pada saat yang kritis telah didampingi seorang master psikologi sosial yang handal, pejuang literasi yang teguh.

“Dalam tekanan penyakit, Mbak Helena memperlihatkan kemenangan pergumulan spiritual,” tulis Sutriyono Robert yang secara spontan mengunggahnya di FaceBook sekejap setelah Helena wafat. “Tak ada sedu sedan.  Tak ada ratapan dalam catatan-catatan yang rajin beliau tulis dan pasang di FB.  Di sela itu, Mbak Helena mengelola perpustakaan dan juga membantu menerima sumbangan buku dan menyalurkan kembali ke komunitas yang membutuhkan di pelosok negeri.”

Seperti saya duga, wafatnya Helena menyentuh banyak orang dan menjadi berita di media daring termasuk Sesawi.Net.  Di sebuah laman lain, seorang penyair bernama Simply da Flores dari Harmony Institute menulis puisi berjudul Sebatang Lilin Literasi. “Helena itu lilin literasi / sebuah lilin dalam gulita / patrikan amal makna cinta / dalam karya sahaja nyata,” tulisnya.

Sama seperti ayahnya, saya juga tidak habis heran betapa banyak kegiatan puteri yang dilahirkan oleh Ibu Theresia Maria Endang Tri Martati ini.  Seluruh ibadahnya, mulai dari requiem, tutup peti hingga pelepasannya berlangsung khidmat.  Dari banyaknya pelayat yang hadir saya baru tahu bahwa Helena sangat aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan rohani.

Sesaat sebelum jenasahnya berangkat menuju kremasi, hujan turun lebat.  Sesudahnya tentu langit menjadi cerah.  Pasti, Helena meninggalkan pelangi yang indah di hati banyak orang. ***

*) Eka Budianta, lahir di Ngimbang, Lamongan, 1 Februari 1956, alumnus Leadership for Environment And Development (LEAD International) dengan studi lapangan di Costa Rica,Okinawa – Jepang, dan Zimbabwe, Afrika Tengah. Mengenal Helena Dewi Justicia sebagai aktifis literasi dan promotor cinta lingkungan.

Related Post