Oleh Charles Beraf
Tak ada alasan yang cukup untuk tidak menulis atau mengenang Pater John Mansford Prior, SVD – seorang teolog yang boleh terbilang besar. Ya, besar tidak hanya dalam karya-karya monumentalnya, tetapi terutama dalam kesaksian hidupnya sebagai imam dan misionaris Serikat Sabda Allah (SVD).
Dia telah menulis banyak karya dengan kajian teologis dan antropologis yang mendalam, tetapi hampir semua karyanya itu berangkat dari kesaksian hidupnya dan dari pengalaman perjumpaan dengan kebudayaan dan masyarakat.
Ya, boleh dikata, John telah merajut kedalaman dengan menyelami keseharian hidup yang banyak kali luput dari perhatian kebanyakan teolog.
Dalam karya dan kesaksian hidupnya, John sekadar seorang teolog, tetapi lebih dari itu, dia sebenarnya adalah seorang guru yang mengajarkan bahwa elitisme intelektual bukanlah asupan yang tepat untuk seorang teolog, tetapi kesediaan untuk turun ke bawah, berkotor tangan dengan mereka yang terlalu sering terpinggirkan dan diabaikan.
Di Ledalero, John selalu tampil lain, terutama di tengah normalitas semu, yang kadang dianggap biasa oleh kebanyakan orang.
Dia adalah satu dari sedikit teolog yang amat setia turun ke unit-unit para frater, makan bersama para frater, dan bergurau bersama para frater dengan guyonan guyonan provokatif.
Dalam suatu kesempatan memimpin ekaristi di Aula Ledalero, pada tahun 1999, John dalam khotbahnya, amat berani memberikan alarm pada para frater dengan mengatakan “kalau intelektualitas tak cukup didukung dengan kesaksian hidup yang benar, maka sebaiknya STFK ini dikepanjangkan dengan sebutan Sekolah Tinggi Farisi Kawakan”.
Ya, John adalah provokator dalam arti yang amat positif, memacu para frater untuk tidak hanya berpikir, tetapi juga untuk berjuang mengkonfrontir intelektualitas dengan kenyataan-kenyataan miris di sekitar mereka.
Di kalangan para dosen Ledalero, John adalah satu dari sangat sedikit dosen yang terus diundang ke mana-mana, hingga ke luar negeri untuk memberikan kuliah atau seminar.
“Hanya Jemur Baju”
Kami, para frater waktu itu, bergurau “John ke Ledalero hanya untuk jemur baju, lalu berangkat lagi”. Tetapi John tetap tampil low profile, tetap ke unit para frater, tetap juga mengunjungi para narapidana di Lapas Maumere, tetap juga turun ke kampung. Hingga saat ini, di Kanganara, Detukeli, orang-orang kampung mengenangnya sebagai peneliti yang amat terlibat dengan hidup mereka: makan apa adanya, tidur tanpa kasur dan kelambu, bersandal jepit, mengenakan kaos oblong, hal yang jarang dijumpai oleh orang-orang kampung ini pada para imam kebanyakan.
Dan mungkin karena keterlibatannya semacam ini, John akhirnya boleh terbang ke mana-mana sebagai teolog yang berbicara tidak semata dari buku dengan uraian-uraian tekstual yang kaku, tetapi dari kesaksian hidup dan pengalaman perjumpaan dengan orang – orang pinggiran.
John bukan tipe dosen yang mudah tergoda pada elitisme. Itu sebabnya dalam mata kuliah Teologi Sosial yang diampuhnya, dia selalu mendorong para mahasiwa untuk berteologi sosial, untuk terlibat dalam perkara-perkara sosial: menjadi portir pelabuhan di Sadang Bui Maumere, menjadi penjaga toko atau menjadi pendorong gerobak, dan sebagainya.
Tak cuma itu. Dia pun mengingatkan para mahasiswanya untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman semacam itu agar berdaya memberikan semacam insight dalam berkarya nanti.
Yang dibuat mahasiswa memang sudah sejak lama dibuat John, ya sejak menjadi pastor kampung di Wolofeo, di wilayah pedalaman Lio.
Tetapi apakah dengan semua bentuk keterlibatan itu, John menjadi seorang teolog yang amat tumpul dan pragmatis? Tidak! John tetaplah seorang teolog yang diandalkan, tidak cuma oleh dunia akademik bukit Sandar Matahari, Ledalero, tetapi juga oleh gereja universal.
John adalah salah satu penasihat Paus bidang kebudayaan. Dia adalah seorang penulis dengan kemampuan berbahasa yang amat sempurna.
Dia adalah seorang pemikir yang amat kaya dengan ide-ide yang baru dan yang tak terbayangkan oleh banyak orang.
Tolak Tunduk pada Keramaian Semu
Dan satu lagi yang penting: John adalah seorang yang selalu menolak tunduk pada keramaian semu.
Ketika orang ramai memakai gadget, John tetap memilih “tak punya”. Dia, seperti cendekiawan kesayangannya, Thomas More, berani menarik satu saja garis lurus di antara sekian banyak garis bengkok, keluar dari godaan elitisme, dan memilih lain, yang mungkin tak digandrungi oleh kebanyakan orang.
John pernah menulis dalam salah satu artikelnya : “Pada masa sekarang, siapa saja yang berpikir lain, siapa yang tidak menyesuaikan diri dengan arus umum dan yang berdiri sendiri dianggap aneh, ketinggalan atau malah membangkang”.
John, alumnus Universitas Birmingham, Inggris ini, memang kerap dianggap aneh. Tapi dia sebenarnya misionaris yang sesungguhnya.
Seperti Yohanes Pembaptis, yang tidak hanya bersuara, tetapi berani beraskese di tengah ketidaklurusan hidup. John, seorang yang memilih tetap beraskese, agar teriakannya tetap sejalan dengan kesaksian hidupnya.
Di tengah kecenderungan massal yang mementingkan kehormatan, kuasa, dan prestise, John tetap memilih merajut yang terpinggirkan agar hati Yesus hidup juga dalam hati mereka yang dipinggirkan.
John adalah misionaris besar, tidak dari jabatan, tapi dari kesaksian hidupnya yang demikian.
John pergi untuk selamanya dan banyak orang kehilangan. Bukan terutama Ledalero yang kehilangan. Tapi terutama orang-orang pinggiran yang kehilangan: para pendorong gerobak, para napi di Lapas Maumere, para buruh pelabuhan, orang-orang kampung Wolofeo.
Mereka sangat kehilangan nabi dan guru mereka. Entahkah ada John yang lain yang hadir di tengah hidup mereka nanti?
Selamat jalan, Pater John.