Sat. Nov 23rd, 2024
Pater Kimy Ndelo, CSsR

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

Ketika Yesus mengutus ke-70 murid (sering disebut juga 72) untuk pergi mempersiapkan jalan bagi datangnya Kerajaan Allah, ada pesan-pesan yang tidak biasa.

Mereka dilarang membawa pundi-pundi, bekal atau kasut. Mereka diibaratkan domba yang diutus ke tengah serigala, dan mereka tidak boleh memberi salam kepada orang lain selama dalam perjalanan.

Artinya, mereka harus berjalan dengan bawaan seringan mungkin, tanpa beban jika perlu.

Mereka akan mengalami kesulitan tapi mereka tidak perlu mengantisipasinya. Fokus pada tujuan dan tidak melakukan hal lain.

Mereka hanya perlu tahu ke mana mereka diutus dan apa yang harus mereka sampaikan. Selebihnya bukan urusan mereka.

Semua direncanakan oleh Allah, baik proses maupun hasilnya (terutama).

Inilah yang namanya percaya pada “penyelenggaraan ilahi”.

Nampaknya mudah. Semakin sedikit yang dilakukan, biasanya semakin baik. Tapi realitas bicara lain.

Bagian yang paling mudah kadang justru bisa menjadi yang paling sulit. Bisa dalam banyak hal sering lebih diakui. Kreatif atau multi talenta lebih diterima. Di sinilah terjadi ketegangan antara kekuatan manusiawi dan kekuatan ilahi.

Semakin berkembang rasio atau akal budi manusia, peran Allah semakin berkurang. Semakin mampu manusia melakukan sesuatu, konsep bantuan yang ilahi makin samar-samar.

Kesadaran akan kuasa Allah hanya muncul ketika orang sudah sampai pada titik batas; ketika manusia tidak mampu berbuat lebih lagi.

Saat itulah Allah diseru dan disebut seolah Allah ibarat pemadam kebakaran atau dokter spesialis. Inilah akar sekularisme.

Allah makin hilang peran-Nya karena manusia sudah makin hebat. Untuk alasan itulah kita diutus dan termasuk dalam kelompok 72.

Meyakinkan dunia bahwa Allah masih hidup dan berkuasa, bahkan berperan dalam bagian hidup yang paling sederhana.

Allah bukan hanya spesialis dalam hal tertentu melainkan Allah dalam segala-galanya.

Fokus pada tujuan dan tidak terganggu oleh hiruk pikuk sekitarnya akan membawa kedamaian sejati.

Pernah ada seorang raja yang menawarkan hadiah kepada seniman yang bisa melukis gambar terbaik tentang “damai”.

Banyak seniman mencobanya. Raja melihat semua lukisan yang dibawa. Tapi hanya ada dua yang benar-benar dia sukai, dan dia harus memilih di antara mereka.

Salah satu lukisan adalah danau yang tenang. Danau itu adalah cermin yang sempurna untuk gunung-gunung menjulang yang damai di sekelilingnya.

Di atas adalah langit biru dengan awan putih tipis. Semua orang yang melihat gambar ini berpikir bahwa itu adalah gambar perdamaian yang sempurna.

Gambar lainnya juga memiliki gunung. Tapi ini kasar dan telanjang. Di atas adalah langit yang marah, dari mana hujan turun dan petir menyambar. Di sisi gunung jatuh air terjun berbusa. Ini sama sekali tidak terlihat damai.

Tetapi ketika raja melihat lebih dekat, dia melihat di balik air terjun semak kecil tumbuh di celah batu. Di semak-semak, seekor induk burung telah membangun sarangnya. Di sana, di tengah-tengah aliran air yang marah, duduklah induk burung di sarangnya – dalam kedamaian yang sempurna.

Gambar mana yang menurut Anda memenangkan hadiah?  Raja memilih gambar kedua. Apa kamu tahu kenapa? “Karena” raja menjelaskan, “Damai tidak berarti berada di tempat di mana tidak ada kebisingan, masalah, atau kerja keras.

Damai berarti berada di tengah-tengah semua itu dan tetap tenang di dalam hati.

Inilah damai yang dibawa oleh ke-70 murid Yesus, dan inilah yang membawa sukacita sejati. Inilah arti sebenarnya dari hidup yang damai dalam Penyelenggaraan Ilahi.

Salam hangat  dari Biara Novena “Maria Bunda-Nya yang Selalu Menolong’ (MBSM), Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula, Sumba “tanpa wa”.

Related Post