Fri. Nov 22nd, 2024
Pater Vincentius Wun SVD

Oleh Pater Vincentius Wun SVD

Tulisan ini pernah dimuat dalam buku “Dari yang Indah Sampai yang Membara, Percikan Pengalaman dari Emaus” (Bajawa Press: 2018). Atas seizin penulis yang pada 9 Juli 2022 merayakan 40 tahun imamatnya dalam Tarekat Sabda Allah, saya kirimkan tulisan tersebut ke redaksi tempusdei.id. Dibuat saat Pater Vincent merayakan ulang ke-36 imamat. Isinya masih tetap relevan hingga kini. (Alfred B. Jogo Ena)

Saat menulis refleksi dalam rangka reuni angkatan tah­bisan imam Ledalero/Ritapiret 1982-2018, usiaku sudah men­capai 67 tahun dan 36 tahun imamat.

Saya telah melewati usia setengah abad. Ini berarti saya se­dang menuju terbenamnya matahari kehidupan. Di masa ini segalanya berubah.

Pada suatu hari, saya berdiri di depan lemari kaca kamarku sambil mengamati diriku dengan teliti. Tubuh fisik saya ternyata sudah berubah: di kepalaku sudah ada landasan helikopter, rambutku tidak lagi hitam sem­purna karena sudah bercampur warna.

Lebih lagi bulu mataku yang biasanya pasti hitam sudah kelihatan satu dua utas berubah warna. Ada keinginan untuk mere­kayasa warna rambut agar dapat menutupi yang kelihatan tua ini tapi aku sadari bahwa semua itu tipuan belaka. Usia tidak akan berubah walaupun warna rambutku dimuda­kan/dihitamkan lagi.

Kitab Peng­khotbah mengingatkan saya: “Untuk segala se­suatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pkh 3:1). Wow tidak bisa disangkal saya sudah dipanggil Opa, dan harus diterima bahwa menjadi tua itu pasti!

Di masa tuaku ini yang penting saya sehat, mandiri dan tidak menyulitkan orang lain, menikmati hidup dan mengisi waktuku dengan pelayanan yang sebanyak mungkin.

Ketika berada di antara imam muda saya merasa tersingkir. Mereka membicarakan topik yang cocok dengan usia mereka, tapi karena cepat sadar bahwa memang beda usia maka saya berusaha hadir ber­sama mereka dan menyesuaikan diri.

Pater Vincentius Wun SVD

Masa yang Indah

Saya menyadari bahwa yang dituntut dari misi Yesus dalam kerajaan-Nya adalah “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang­siapa ingin menjadi yang ter­kemuka di antara kamu, hen­daklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Mrk 10:43).

Nasihat Yesus ini ber­laku selama manusia masih hidup entah sudah tua atau muda belia, entah imam atau­ awam.

Masa ini disebut “masa yang indah”, karena saya bisa bangga dan merasakan ikatan batin dengan tempat tugas seba­gai pastor di beberapa paroki dan melakukan beberapa karya monumental.

Di Paroki Eban, tempat cinta pertamaku sebagai Pastor Rekan ada banyak sahabat di sana. Berpindah ke Paroki Santo Gerardus Nualain, tempat saya ber­tumbuh dalam imamat dan pe­la­yananku sebagai pastor Paroki.

Berbekal pengalaman sebagai pastor pembantu dari seniorku P.Wolfgang Jeron SVD, misionaris asal Jerman yang sungguh berbagi ilmu katekese untuk umat terutama anak-anak.

Di tempat ini ada bangunan menumental berupa salib di puncak Leowasu dekat Duarato–Lamaknen.

Setelah 8 tahun di paroki, saya ditugas­kan menjadi Eko­nom Pro­vinsi SVD Timor selama 6 tahun. Lalu saya ditu­gas­kan lagi ke Paroki Santo Yohanes Pemandi Naesleu.

Di tempat ini saya mengabdikan diri sebagai imam di tengah umat yang beraneka ragam dan meng­asyikan karena ada banyak tantangan yang membuatku jadi lebih matang. Di tempat ini saya menyadari bahwa kelompok umat basis yang dipadukan dapat menjadi kekuatan dahsyat bagi perkem­bangan paroki itu sendiri.

Kami dapat membangun sebuah gereja yang megah di tengah kota Kefamenanu. Suatu kebanggaan yang tidak akan punah dari memori hidupku. Semua itu bukan kehebatan saya tapi kekuatan doa, ekaristi kudus, dukungan para Santo dan Santa serta teman imam dan donatur baik dari dalam maupun dari luar paroki.

Para donatur telah menjadi bukti kasih Allah dalam hidupku untuk membangun rumah Tuhan ini.

Keterlibatan Tuhan sangat mungkin tercipta kalau manusia memiliki iman, ke­ter­bukaan dan kerendahan hati.

Bersama pemaz­mur saya memuji Tuhan: “Pujilah Tuhan hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya” (Mzm 103:2).

Saya menyadari bahwa Tuhan­lah yang me­mung­kinkan saya mengalami pela­yanan ini. Saya bangga dengan semua pengalaman itu.

Per­sahabatan dan peng­hargaan hingga sekarang meru­pa­kan buah dari karya yang penuh kasih kepada umat.

Hal itu seakan menegaskan Sabda Tuhan ini, “Jangan­lah kamu membawa bekal dalam perjalanan, jangan­lah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut men­dapat upahnya” (Mat 10:10).

Tidak jarang terdengar pujian dan rasa bangga akan kehadiran dan pelayananku. Semua itu bagaikan obat yang mem­berikan energi. Bukankah ini hadiah dari Tuhan untuk pelayananku kepada umat-Nya?

Buah Ekaristi

Segala tempat tugas yang sudah saya layani meru­pakan buah dari ekaristi kudus, rahmat terindah dari Tuhan bagiku sebagai imam-Nya.

Imamat sungguh ka­runia yang sangat isti­mewa dalam hidupku. Keisti­me­waan ini bertumbuh tahap demi tahap dalam tugas pelayananku. Imamat dan ekaristi serta pelayanan tidak bisa dipisahkan.

Tidak ada imam yang hidup tanpa ekaristi dan tidak ada imam yang meraya­kan ekaristi tanpa pelayanan sebagai hamba yang mengabdi.

Jika dipisahkan maka saya hanyalah pemain tonel dalam meng­hayati panggilan hidup ini. Ini adalah kemuna­fikan hidup yang menyakit­kan Tuhan dan umat-Nya.

Dalam kaitan dengan ekaristi kudus, selama 36 tahun men­jadi imam–ekaristi kudus adalah perayaan yang penuh makna dalam hidupku.

Semakin tua usia imamatku semakin berarti ekaristi kudus bagiku. Meja ekaristi semakin indah walaupun tubuh fisikku sebagai imam makin rapuh. Perasaan ini timbul karena ekaristi itu amat luhur dan dashyat untuk memelihara panggilan dan pelayananku.

Penghayatan ekaristi di pastoran bersama imam lain meru­pakan tantangan yang tidak gampang. Karena tantangan jenis ini terjadi di depan mata dan de­kat dengan hidup seorang imam.

Sebagai Pastor Kepala harus berhadapan dengan imam yang beda pendapat, budaya, usia, watak serta hobi. Dalam meng­­hadapi kenyataan ini, saya akan berusaha menciptakan sua­sana harmonis dalam ke­luarga pastoran yang menjadi pusat kekuatan pela­yanan parokial.

Dari pastoran kami akan melayani umat kami. Saya tidak menghendaki adanya kemuna­fikan dalam pelayanan.

Apabila ada salah paham saya berusaha selesaikan agar tampil sebagai imam yang memimpin ekaristi kudus, bersih dari aneka tekanan, hidup bersama teman imam di Pastoran.

Kalau ekaristi dirayakan dengan baik maka akan dirasakan umat sebagai berkat bagi hidup mereka. Inilah spirit hidupku sebagai imam selama 36 tahun. Buah dari berkat itu bisa dalam bentuk material, persaudaraan, pujian, kisah lucu yang menye­mangati perjalanan imamatku.

Perayaan ekaristi merupakan wujud dari imamat itu sendiri. Imam tanpa ekaristi kudus bukanlah imam. Ekaristi kudus yang dirayakan tanpa penghayatan pelayan­nya hanyalah sandiwara tanpa makna. Karena itu saya akan tetap menghargai imamatku dan akan tetap menghayatinya dengan setia.

Sebagai imam biara­wan berkaul, ekaristi adalah penolong utama untuk melepaskan kebiasaan yang melawan kaul sekaligus me­maknai pengor­bananku dalam mengikuti Kristus.

Pater Vincentius pada ulang tahun ke-40 imamatnya. (ist)

Persiapan Masa Tua

Pada waktunya saya akan purna bakti dan akan kembali ke rumah. Yang sudah saya siapkan untuk masa tuaku meliputi persiapan fisik dan rohani.

Ketika berusia 55, kala itu saya menyadari bahwa secara fisik semakin menurun dan mengalami gejala munculnya aneka penyakit.

Saya memutuskan untuk mengubah pola hidup dan pola makan. Makanan yang disajikan semakin enak karena posisi sebagai Pastor Paroki di kota. Akibatnya muncullah gejala asam urat, colesterol, hipertensi dan lainnya mendorong saya untuk mengubah pola hidup.

Saya mulai membiasakan diri untuk minum air hangat 600 ml setiap bangun pagi lalu jalan pagi mulai pukul 04.00-05.00. Ke­biasaan ini sudah dijalankan sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Alhasil, ada perubahan. Segala keluhan darah tinggi dan lainnya dapat diatasi, dengan demikian hidup bisa diperpanjang.

Tahun 2016 saya mengalami gejala prostat tapi berkat pe­me­rik­saan di RKZ saya dibantu dokter untuk pengobatannya walaupun tidak tuntas. Dengan ramuan Cina dan Liber, akhirnya bisa sembuh.

Hingga kini ramuan Liber masih saya konsumsi bahkan bisa menu­runkan sakit gula dan kolesterol. Ramuan ini sungguh ajaib. Saya juga mengkonsumsi minyak ikan setiap pagi untuk menjaga stamina. Syukur pada Tuhan bahwa saya bisa menjalani masa ini dalam keadaan sehat walafiat. Itu beberapa persiapan fisiknya.

Sedangkan persiapan rohaninya adalah Doa ber­sama Bunda Maria. Kebiasaan saya satu jam jalan pagi itu, jalan bersama Maria.

Banyak orang sangat mem­butuh­kan doa kita. Selain itu kesunyian pagi me­mung­kinkan saya menemukan kehadiran Tuhan. Seperti Nabi Yesaya yang menemukan Tuhan dalam angin sepoi.

Mengikuti Gerakan Kharismatik dan aneka lokakarya amat membantu saya secara pribadi meng­hayati doa dan pe­rayaan secara baru serta memperkaya saya untuk pelayanan kepada umat.

Roh Tuhan selalu hadir secara baru apabila ada keterbukaan dari pihak orang yang terpanggil untuk bekerja sama dengan-Nya.

Teknik penyembuhan prana saya pelajari sejak tahun 1989 hingga memiliki keahlian dalam pelayanan. Teknik ini telah membantu banyak pasien dan tertolong. Inilah penunjang dan penjamin kesibukan di hari tua nanti agar tidak nganggur dan selalu sibuk.

Harapan di Masa Tua

Kalaupun tidak dapat diperlambat, maka yang pa­ling kuingin­kan adalah menjadi tua dengan sehat dan mandiri. Tetap sehat di usia tua itu dambaan setiap orang. Bagaimana agar tidak hanya memperpanjang usia, tetapi menghidup­kan umur panjang itu” (Bahan dari pendamping kursus di Nemi 2017). Saya akan tetap mau melayani sesuai bakat dan kemam­puan yang Tuhan berikan kepada saya.

Sebagai orang yang terpanggil untuk menghayati hidup sebagai imam dan biarawan Serikat Sabda Allah, sam­bil menatap kembali masa lalu, yakni hari-hari pelayananku, bersama pemaz­mur saya hanya bisa menyampaikan: “Pujilah Tuhan hai jiwaku, dan jangan­lah lupakan segala kebaikan-Nya” (Mzm 103:2).

Saya bukan orang yang sempurna. Saya bagaikan bejana tanah liat yang dipakai Tuhan. Saya kadang han­cur berantakan, tapi Tuhan yang setia kepadaku mengum­­pul­kan pecahan tanah liat itu dan membentuk saya kembali menjadi bejana yang indah.

Karena itu saya tidak pernah menyombongkan diri dan meng­anggap diri suci. Saya juga menyadari bahwa dari keterpecahan hidupku, walaupun telah ditata dan diperbaiki lagi oleh Tuhan, saya akan menjadi tangan kasih Tuhan untuk mengerti dan mene­mani sesamaku yang mengalami keter­pecahan dan kehancuran dengan penuh belas­kasihan Allah.

Tidak Menyesal jadi Imam

Akhirnya, saya hendak menegaskan bahwa saya tidak pernah menyesal telah menjadi imam Tuhan untuk mem­berikan diri seutuhnya melayani gereja-Nya sejak 1982 hingga kini dan seterusnya.

Dalam pelayanan saya sebagai imam di mana pun saya selalu memakai tiga pedoman penting yang men­jadi perhatian saya.

Pertama, kehadiran saya di satu tempat baru adalah hadir bersama umat dan meng­hargai segala kebijakan yang sudah dilaku­kan penda­hulu saya. Memberikan penghargaan yang tinggi ter­hadap umat dan segala kebijakan pendahulu saya.

Di sinilah saya bisa menemu­kan jiwa semangat dari man­tan dan umat untuk bisa bersama mereka membangun bersama di tempat baru ini.

Kedua, rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tempat tugas baru, segala yang ada betapapun seder­hana­nya sebagai milik yang harus dijaga dan dipelihara.

Dan ketiga, saya diutus untuk mewartakan kasih Allah kepada sesama. Cinta Allah menjadi tugas utama yang harus dibagikan kepada orang lain.

Akhirnya tiada kata lain dari hatiku terdalam selain syukur kepada Tuhan atas rahmat imamat dan atas segala berkat ber­limpah bagi hidupku. Jaga dan sertai­lah aku dan umat yang saya layani serta semua donatur pendukung karya misiku.

Bersama Arnoldus Janssen saya berdoa: Semoga hati Yesus hidup dalam hati semua manusia. Amin.

 

Related Post