Oleh Eleine Magdalena, Penulis buku-buku renungan best seller
Ratna menderita kanker stadium 2B. Secara medis ia masih dapat ditolong. Namun, ia tidak berobat karena tidak mempunyai uang. Ia akhirnya meninggal tidak terlalu lama berselang.
Seorang lain bercerita mengenai temannya yang mengalami kecelakaan berat. Nyawanya tidak tertolong karena tidak mampu membayar uang jaminan rumah sakit.
Seorang ibu yang lain lagi mengatakan: “Jangankan untuk berobat, untuk makan pun sudah sulit” ketika tidak mampu membawa anaknya yang sedang sakit ke dokter.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa ini cukup sesuai menggambarkan kondisi orang sakit yang tidak punya uang.
Selain harga obat mahal, biaya rumah sakit tinggi. Pengobatan gratis tidak menjangkau semua masyarakat miskin.
Banyak kejadian memilukan terjadi di sekitar kita. Mereka yang menderita bisa saja saudara, karyawan, tetangga, teman kerja kita, atau kenalan.
Apakah kita masih terdorong untuk membantu? Apakah hati kita masih tergerak oleh penderitaan sesama? Ataukah kita berpikir toh masih ada orang lain yang lebih tepat, lebih dekat dan lebih mampu untuk menolong?
Luk 13:10-17 mengisahkan penderitaan perempuan yang dirasuki roh sehingga badannya bungkuk. Yesus peka melihat kemalangan dan kebutuhan ibu ini.
Yesus meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu dan menyembuhkannya.
Ibu tersebut memuliakan Tuhan karena ia dibebaskan dari sakit yang selama delapan belas tahun dideritanya.
Seharusnya orang-orang lain yang menyaksikan penyembuhan ini turut memuliakan Allah. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Kepala rumah ibadat menentangnya karena Yesus melanggar ketentuan mengenai hari Sabat.
Belas kasih Yesus tidak dibatasi oleh adat-istiadat semata-mata. Yesus menantang akal budi orang Yahudi.
Bukankah setiap orang Yahudi melepaskan lembu dan keledainya pada hari Sabat untuk minum (ay 15)?
Manakah yang lebih penting, hewan piaraan atau manusia? Yesus mau membuka mata hati orang Farisi untuk lebih menghargai dan mencintai manusia daripada harta benda.
Betapa pentingnya melepaskan ikatan yang membelenggu manusia sehingga dapat memuliakan Allah.
Yesus menegur mereka sebagai orang munafik karena menyibukkan diri dengan hukum dan lupa akan martabat manusia dan kebutuhan nyata sesama.
Kita pun sering terbelenggu oleh aturan dan kebiasaan di paroki, di lingkungan atau di tempat kerja.
Kita tidak jadi memulai suatu program yang sangat dibutuhkan orang miskin, sakit, lemah, terlantar, hanya karena belum ada peraturan yang jelas atau anggaran yang cukup.
Kalau kita peduli pada sesama yang menderita tentu kita menemukan cara yang tepat untuk menolong dalam situasi yang sulit sekalipun.
Maukah kita mengambil risiko dalam menolong orang lain?