Oleh Arthur Chandra, Dosen Teologi dan Kepemimpinan Universitas Pelita Harapan
J ika kita mengamati jagad netizen khususnya di Indonesia, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa netizen sangat menggemari berita-berita tentang dosa. Misalnya berita labrakan pasangan yang lagi asyik berselingkuh di kamar hotel dan dibumbui adegan baku hantam. Tidak peduli apakah yang diliput itu orang biasa yang tidak terkenal, tetap saja berita itu akan cepat viral. Apalagi jika yang diliput adalah tokoh publik yang terkenal. Animo netizen akan terpantik dengan cepat dan jagad netizen menjadi riuh dengan beragam hujatan, caci maki dan penghakiman.
Belakangan ini kita bisa melihat dalam kasus pembunuhan brigadir Yosua dengan tersangka utama Jenderal Sambo. Viralnya kasus ini juga karena adanya rumor mengenai kisah perselingkuhan yang dilakukan oleh sang Jenderal dengan sosok pejabat polwan yang ayu dan menjadi pujaan netizen. Masih lagi ditambah dengan desas desus kisah selingkuh istri Sambo dengan brigadir Yosua. Mendadak para netizen bisa menjelma menjadi sosok detektif, jaksa, pengacara dan hakim yang jago dalam mengupas kebenaran. Lantas dimanakah kebenarannya? Itu di luar jangkauan penulisan artikel ini karena penulis lebih tertarik untuk mengupas fenomena penghakiman publik ini sekalipun kita semua belum mengerti jelas letak kebenarannya.
Kisah Sambo ini sesungguhnya pernah terjadi ribuan tahun lalu dan tercatat dalam Alkitab. Walaupun detil peristiwanya mungkin tidak sama persis tetapi ada kemiripan. Tokoh dalam Alkitab tersebut adalah pejabat puncak seorang raja di Israel yang melakukan perselingkuhan dengan istri orang lain dan membunuh orang tersebut yang notabene orang kepercayaannya di medan perang. Pembunuhan ini dilakukan dengan keji dan sistematis dengan cara menempatkan orang tersebut di garis depan pertempuran. Bagi kita yang familiar dengan kisah Alkitab, maka kita tahu bahwa raja itu ialah Daud. Jika saja di zaman itu sudah ada internet maka jagad netizen pasti akan geger seantero dunia.
Daud raja besar Israel adalah raja yang terlibat dosa perselingkuhan sekaligus pembunuhan berencana. Jika masuk dalam ranah hukum jelas ini bisa dijerat pasal berlapis-lapis. Daud dengan gelimang harta dan kuasanya sebenarnya sanggup menikahi gadis manapun di jagad ini. Namun karena nafsu syahwatnya yang tidak terbendung, ia menjadi gelap mata meniduri dan menghamili Betsyeba, istri Uria prajurit elitnya di saat Uria bertaruh nyawa di medan perang. Lalu Daud mencoba menutupi skandalnya dengan memanggil Uria dari medan perang agar Uria punya kesempatan untuk berhubungan intim dengan Betsyeba. Dengan harapan kehamilan Betsyeba seolah terlihat karena hasil hubungan suami istri yang sah bukan hasil nafsu sang raja. Namun Uria prajurit yang berintegritas dan berdedikasi bagi negaranya ini menolak kesempatan yang diberikan raja. Alhasil Daud membuat plot untuk membunuh Uria. Biadab…Keji…Amoral…Mungkin itu label yang pas untuk raja Daud. Namanya seharusnya masuk dalam blacklist sebagai raja munafik dan tega. Menariknya, Alkitab tidak menghapus rekaman CCTV dosa Daud padahal ia adalah tokoh yang membawa citra umat pilihan Allah. Padahal skandal sebesar ini bisa merusak kepercayaan publik sepanjang masa. Namun Allah tidak melakukan intervensi dengan memberikan wahyu pada penulis Alkitab untuk tetap menuliskan fakta dan tidak menutupi kisah skandal tersebut.
Fakta yang lebih menarik lagi dalam Alkitab adalah Daud yang telah mencoreng nama baik umat Allah disebutkan sebagai the man after God’s own heart atau seorang yang berkenan di hati Allah (1 Sam. 3:14). Sebuah trademark yang tidak lazim dan mungkin tidak layak untuk disematkan pada Daud raja tega itu. Bahkan trademark itu tidak dihapuskan Allah sekalipun Daud telah terbukti melakukan kejahatan (Kis. 13:22). Lha kok bisa? Banyak orang yang menyelidiki kisah Daud menemukan beberapa karakter Daud yang membuatnya berkenan di hadapan Allah seperti memiliki iman percaya pada Allah yang begitu besar sebagaimana tercatat dalam kisah-kisah peperangannya dan terlebih ketika melawan Goliat. Selain itu Daud juga nampak sebagai pribadi yang mencintai Allah dengan unggahan karya-karya Mazmurnya di Alkitab dimana lebih dari separuh Mazmur adalah tulisan Daud.
Namun sebenarnya karakter utama Daud yang membuat ia berkenan di mata Allah adalah kepekaannya akan dosanya dan anugerah Allah yang melimpah. Ketika ia ditegur keras oleh nabi Natan, Daud mengaku bersalah dan tidak mencari alibi bahkan menyusun skenario drama untuk menutupi kebenaran.
Kebesarannya sebagai raja tidak membuat Daud pongah dan merasa gagah melebihi Allah (2 Sam. 12:13). Kemudian Daud juga peka akan kebesaran anugerah Allah yang rela mengampuni mereka yang bersalah dan sungguh bertobat (Mazmur 32:5). Dengan kata lain, Daud paham pahitnya dosa dan manisnya anugerah Allah. Sepanjang hidupnya, Daud tentu memiliki banyak dosa, kesalahan dan kebodohan, bukan hanya skandalnya dengan Betsyeba. Ia pernah melakukan sensus sebuah praktik yang jahat di mata Allah (1 Taw. 21:1-17). Ia juga gagal mendidik anak-anaknya sehingga terjadi perang saudara berdarah-darah (2 Sam. 13-19). Namun dalam semuanya itu, Daud terus berjumpa dengan Allah dalam anugerah demi anugerah.
Apabila kita membaca dan merenungkan kisah Daud, kita bisa mengamati bahwa yang menonjol adalah kisah Allah yang benar dan beranugerah. Tatkala kita sebagai umat Allah menilik kisah-kisah kehidupan di masa kini dengan berbagai coreng moreng dosa seharusnya kita juga berdiri di atas kebenaran dan anugerah. Bilamana jagad netizen belakangan ini digegerkan oleh berita-berita tentang dosa-dosa Sambo. Seyogyanya kita memiliki sikap yang tepat yaitu berpihak pada kebenaran dan melimpahkan anugerah. Berbagai bukti yang disajikan menunjukkan bahwa Sambo memang bersalah. Hingga saat ini kebenaran yang terkuak menunjukkan bahwa Sambo layak mendapatkan hukuman yang mana prosesnya dikerjakan oleh pengadilan yang merupakan kepanjangan tangan Tuhan.
Sekalipun demikian Sambo juga adalah manusia yang membutuhkan anugerah pengampunan seperti kita semua. Adakah diantara kita yang tidak memiliki cacat cela? Adakah diantara kita yang tidak membutuhkan pengampunan? Apakah kita mau berdiri di atas dasar kebenaran dan anugerah? Jangan-jangan terhadap dosa kita sendiri, kita menolak kebenaran dan melakukan pembelaan diri dengan berbagai alibi.
Sebagai penutup, penulis mengajak kita semua sebagai insan manusia yang berdosa dan membutuhkan anugerah Allah untuk lebih berhati-hati dalam menggerakkan jari-jari kita dalam memberikan penghakiman atas sesama. Jangan-jangan analisa dan investigasi kita justru mengaburkan kebenaran yang sesungguhnya. Sebab kita tidak memiliki dan meneliti bukti secara empiris.
Tentu dalam kehidupan pribadi, kita juga mesti mawas diri dan berpikir dengan bijak sebelum mengatakan kalimat-kalimat hujatan pada sesama yang tidak bisa tarik. Kebenaran perlu ditegakkan tetapi perlu diingat bahwa dalam kebenaran Allah ada anugerah-Nya yang melimpah. Prinsip demikian sebaiknya menjadi nilai yang bisa kita junjung tinggi sehingga dunia internet yang sudah riuh dan keruh dengan hujatan penghakiman dapat kita garami dengan kebenaran dan anugerah.