Felix Supranto, SS.CC, Pastor Paroki Santa Odelia, Citra Raya, Banten
Ketika saya masih berada dalam pendidikan dan tinggal di sebuah asrama, rektor meminta saya untuk belajar mengendarai sepeda motor. Seorang teman melatih saya. Dalam proses latihan tersebut, saya dengan tidak sengaja menabrak ayam jantan kesukaan rektor dan menyebabkan ayam itu mati.
Peristiwa tersebut membuat saya sangat merasa bersalah dan takut dengan kemarahan romo rektor. Teman saya tersebut rupanya memanfaatkan rasa takut dan rasa salah saya tersebut. Setiap kali ia mendapatkan tugas dari rektor untuk melakukan sesuatu, ia langsung berbisik kepada saya: “Ingat, ayam jantan yang mati tertabrak motor”.
Perasaan bersalah dan takut yang terus menghantui saya itu membuat saya mengambil alih tugasnya. Karena ia terus menerus mengingatkan saya dalam waktu yang lama tentang “ayam jantan yang mati tertabrak motor“, saya mulai tidak tahan dengan perasaan bersalah itu.
Saya pun memberanikan diri menghadap romo rektor : “Romo, sayalah yang menabrak ayam jantan kesukaan Romo”. Romo Rektor menjawab: “Saya sudah tahu. Betapa berat hidupmu dalam beban perasaan bersalah yang begitu lama”.
Setelah saya mengatakan dengan jujur kesalahan saya kepada romo rektor, hati saya mengalami kelegaan yang luar biasa.
Throw away culture atau “budaya sekali pakai dan buang” menjadi penyebab terjadinya perbudakan oleh perasaan bersalah.
Beberapa contoh budaya sekali pakai dan buang adalah kita hanya sekali memakai baju baru dan kemudian kita membuangnya. Kita satu kali saja menggunakan pembungkus barang dan kemudian kita melemparkannya ke dalam tempat sampah.
Untunglah sekarang ini ada banyak orang yang mampu mendaur ulang yang telah dianggap sebagai sampah yang menjijikkan itu menjadi barang baru yang indah. Orang yang melihat barang baru itu akan lupa akan asal-usulnya. Mereka hanya melihat nilainya barang baru tersebut.
Budaya ini tidak hanya berlaku bagi barang-barang, tetapi juga sering terjadi kepada manusia dalam lingkup perusahaan, sekolah, bahkan dalam organisasi kerohanian.
Tidak ada kata bersalah dalam lembaga-lembaga itu. Semua yang berada di dalamnya harus sempurna, tanpa cacat sedikitpun. Sekali orang berbuat salah, ia mungkin akan mendapatkan sanksi pemecatan.
Tidak ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Pemecatan tersebut akan meruntuhkan nama baik mereka. Budaya itu sangat menakutkan bagi banyak orang sehingga melahirkan kebiasaan menjilat, rekayasa, dan kemunafikan, yang penting asal bapak senang.
Setan memiliki ingatan yang kuat. Ia mengingat sekecil apapun kekilafan kita. Ia akan senantiasa mengingatkan kita atas setiap detail kesalahan yang telah kita perbuat di masa yang lampau walaupun kita telah menyesali dan bertobat.
Setan sangat lihai membuat kita takluk di bawah kutukan dosa. Perasaan bersalah atas dosa yang telah Allah ampuni itu akan membentuk pandangan kita bahwa Allah adalah Pemarah.
Akhirnya, kita merasa malu dengan diri kita sendiri. Itulah kelicikan setan dalam menjauhkan kita dari Allah dan dari kerahiman-Nya.
Allah tidak hanya telah mengampuni dosa kita, tetapi Ia telah melupakan dan tidak mengingatnya lagi ketika kita telah menyerukan pertobatan. “Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka” (Ibrani 8 : 12).
Kita pun harus berhenti untuk terus mengingat dosa-dosa yang telah Allah lupakan agar kita dapat melangkah maju dalam kehidupan kita.
Ketika setan terus-menerus mengingatkan dosa kita di masa lalu, kita hendaknya mengatakan: “Terima kasih telah mengingatkan kembali dosa-dosa yang telah saya perbuat. Hal itu membantu saya untuk semakin menyukuri kerahiman-Nya yang sempurna”.
Kalau Allah tidak mengingat lagi kesalahan kita pada saat kita bertobat, kita hendaknya juga tidak mudah membuang orang -orang yang melakukan kesalahan.
Kita hendaknya senantiasa membuka pintu maaf bagi orang yang bersalah. Membuka pintu maaf itu nyata dalam memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berubah.
Allah sanggup untuk mengubah yang tidak bernilai menjadi berharga.