Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan
Tuntas sudah perjuangan Remy Sylado melawan stroke dan beberapa penyakit lain yang mengungkung raganya.
Keinginannya untuk kembali bisa membaca dan mengetik pun “purna” setelah ia mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 10.30 WIB (12/12/22).
Inilah “kepulangan” seorang seniman besar kelahiran 12 Juli 1945, milik Indonesia itu.
Remy Sylado adalah sosok seniman lengkap nan serbabisa yang terlihat dari karya-karyanya yang beragam mulai dari musik, teater, drama, novel, puisi, film. Di bidang bahasa, dia seorang munsyi yang sangat menguasai seluk-beluk bahasa.
Selain bahasa Indonesia, Belanda, Inggris, Prancis, dia juga terampil menggunakan banyak bahasa asing lain termasuk Bahasa Ibrani, Yunani, Arab.
Irama Mesin Ketik
Dalam menulis, kalau tidak sangat terpaksa, Dova Syla—salah satu nama samaran Remy—tidak mau menggunakan komputer. Dia lebih suka dan merasa nyaman menggunakan mesin ketik. Bahkan seluruh novel dan bukunya lahir dari mesin ketik.
“Saya gunakan komputer hanya saat berkirim e-mail. Juga ketika saya lagi di luar negeri dan ada media yang minta tulisan. Dikasih waktu hanya dua jam. Ya, terpaksa saya pakai komputer,” jelas pria bernama asli Japi Panda Abdiel Tambayong semasa sehat kepada penulis di rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Penulis cukup sering berkunjung ke rumahnya baik untuk wawancara maupun untuk sekadar ngobrol ke sana ke mari. Obrolan tidak jauh-jauh dari dunia kepenulisan dan minatnya pada dunia kebahasaan.
Dengan gembira, penulis kumpulan puisi Kerygma dan Martyria, yang mendapatkan penghargaan dari MURI karena merupakan buku kumpulan puisi yang paling tebal dengan 1056 halaman, terbit 2004 (Gramedia), menerima penulis.
Penulis novel Ca Bau Kan ini tentu sangat paham bahwa orang seperti saya datang kepadanya adalah untuk belajar dengan banyak mendengarkan. Dia sesekali bertanya tentang sesuatu.
Kalau saya tidak bisa menjawab atau tampak ragu-ragu, dia sambil tertawa berkata, “Masa wartawan gak tahu. Pulang nanti banyak baca. Banyak tahu membuat kita bisa lincah menulis dan menghasilkan karya berkualitas,” katanya. Saya pun angguk-angguk malu.
Sering sekali Pak Remy mengajak saya makan siang atau malam di rumahnya. “Makan dulu, Em. Kita makan sederhana saja,” katanya di ruang makan yang didominasi warna putih itu.
Mesin Ketik Kesayangan
Kembali soal mesin ketik. Remy memiliki sebuah koleksi mesin ketik keluaran 1930-an. Sedangkan mesin ketik yang dia pakai sehari-hari merupakan buatan tahun 1960-an.
Di rumahnya di Cipinang Muara, terdapat 7 mesin ketik; 3 di antaranya adalah mesin ketik listrik.
Remy sering berkata, ingin membuat rak khusus untuk mesin-mesin ketik tua koleksinya. Dia bahkan ingin memburu mesin ketik tua.
Lantas, apa yang membuat pemenang “Khatulistiwa Literary Award” melalui novel Kerudung Merah Kirmizi ini sangat setia dengan mesin ketik? Apakah dia tergolong orang yang anti teknologi?
Ternyata tidak. Alasannya sederhana. Karena dia sudah sangat lama menggunakan mesin ketik dan telah merasa cocok. Dia mulai menggunakan mesin ketik untuk menulis novel pertamanya Inanikeke ketika berusia 16 tahun.
Kebiasaan itu berlangsung hingga ia masih bisa mengetik sebelum stroke mengungkung raganya.
“Karena sudah biasa pakai mesin tik saja. Dari dulu saya begini, dan saya tidak mau mengubah kebiasaan ini. Kalau saya ubah, maka tidak menjadi bagian dari diri saya lagi. Mungkin kalau saya ubah, akan jadi kendala baru buat saya,” jelasnya sambil tersenyum.
Uniknya, seluruh karyanya, sebelum dia ketik dengan kesin ketik, terlebih dahulu dia tulis tangan menggunakan pensil di atas kertas bekas. “Jadi saya ini penulis yang benar-benar menulis dengan tangan. Bukan ‘mengkomputer’,” ujarnya ringan.
Sejak 12/12/22, tepat pukul 10.30, Remy tidak akan pernah lagi menggunakan beberapa mesin ketik kesayangannya itu untuk mengalirkan karya-karyanya. Termasuk dia tidak lagi bisa mengetik novel yang dia katakan kepada penulis pada 13 Juli lalu “sudah ada dalam otaknya, tinggal diketik saja” itu.
Selamat pulang kepada penciptamu, Pak Remy. Dia telah menganugerahimu bakat dan talenta istimewa. Engkau pun telah mempertanggungjawabkan melalui karya-karyamu yang sudah dan akan melegenda. Beristirahatlah dengan girang karena perjuanganmu memang telah tuntas dan purna. Requiescat In Pace.