Oleh Doni Koli, ASN Kementerian Agama
Polemik seputar invasi Rusia terhadap Ukraina selain menjadi fenomena gunung es dari arena perang dingin berkepanjangan serta kompetisi ekonomi-politik yang melibatkan blok-blok ekonomi politik serta militer, juga memperlihatkan persoalan kemanusiaan yang jauh lebih memprihatinkan.
Selain melibatkan adu tanding militer, imbas konflik kedua negara tersebut turut menegaskan sebuah etalase mencemaskan perihal toleransi serta sikap masyarakat Barat, khususnya komunitas Uni Eropa dalam menerima, mengidentifikasi dan memperlakukan para imigran.
Ada semacam double standard politics (politik standar ganda) yang dipentaskan dunia Barat.
Seorang imigran yang melarikan diri dari wilayah Donbas, Ukraina Timur dapat dengan mudah diterima dan ditampung negara-negara Uni Eropa ketimbang misalnya, seorang pengungsi yang melarikan diri dari kelompok ekstremis Boko Haram di Nigeria.
Dalam kurun waktu beberapa hari saja, beberapa negara yang bergabung dalam uni Eropa berhasil menampung ribuan pengungsi dari Ukraina.
Hal ini berbeda dengan cara Uni Eropa memperlakukan imigran dari Timur Tengah dan Afrika. Beda perlakuan tersebut mengafirmasi watak solidaritas Uni Eropa yang secara moral lemah karena dibangun atas dasar kesamaan kebangsaan, karakter moral serta kualifikasi intelektual tertentu.
Watak solidaritas yang keropos tersebut sederhananya dapat dibahasakan demikian: “Saya menghargai dan menerima yang lain. Namun ‘yang lain’ itu harus sesuai dengan standar dan keinginan saya.”
Spirit Orang Samaria yang Baik Hati
Kutipan teks dalam prolog di atas adalah pertanyaan retoris serentak tendensius yang diajukan seorang ahli taurat kepada Yesus sebagaimana dinarasikan penginjil Lukas (Bdk. Luk. 10:25-37).
Sebagai respon atasnya, Yesus mengisahkan perumpamaan tentang seorang Samaria yang memberikan pertolongan bagi seorang Yahudi yang diserang penyamun jahat.
Orang atau bangsa Samaria sendiri adalah kelompok yang dituduh kafir dan najis oleh bangsa Yahudi.
Kisah dalam Iniil Lukas tersebut sesungguhnya mengemukakan hal klise berisikan paradoks tertentu.
Di satu pihak, seorang imam dan seorang dari kaum Lewi yang notabene adalah sesama dari golongan Yahudi malah menelantarkan si korban.
Di pihak lain, justru orang Samaria yang dianggap najis dan kafir itulah yang memberi pertolongan bagi korban.
Konflik bangsa Yahudi dan orang Samaria dengannya hadir dalam komposisi yang diametral: kelompok Yahudi yang menganggap diri paling suci serta memiliki ras paling murni vis a vis kelompok orang Samaria yang dianggap kafir dan najis karena telah berasimilasi dengan bangsa-bangsa lain.
Di sana terdapat narasi tentang kultus terhadap homogenitas, egoisme rasial hingga eksklusivisme.
Dalil kemurnian atas nama ras serta ajaran agama menyediakan justifikasi bagi golongan Yahudi untuk mengafirkan orang Samaria dan menjadikan mereka liyan: subjek kelas kedua dengan kualitas kemanusiaan subordinat.
Toleransi Otentik: Humanity over Politics
Hemat saya, pertanyaan yang diajukan ahli taurat kepada Yesus dalam kutipan pembuka tulisan di atas: “Siapakah sesamaku manusia?”, juga menjadi status questionis yang relevan, advokatif dan strategis untuk membedah, membingkai dan menjawab persoalan krusial hubungan antar-manusia zaman ini.
Manusia-manusia zaman sekarng terkadang suka membangun sekat-sekat pemisah, alergi dan sensitif dengan perbedaan, arogan dan curiga dengan “yang lain” serta mudah terprovokasi oleh letupan sentimen berbasis rasial dan agama.
Berpijak pada back ground historis pertentangan kelompok bangsa Yahudi dan orang Samaria, dapat dilihat bahwa korban yang berasal dari golongan Yahudi tersebut bahkan tidak mengharapkan pertolongan orang Samaria itu.
Namun, dari ketiga orang yang lewat, justru orang Samaria itulah yang memberikan pertolongan.
Kesukarelaan ini hanya menjadi mungkin karena orang Samaria itu dengan hati terbuka dan penuh kesukarelaan berani menanggalkan diri dan blok identitas sukunya serta melampaui konflik rasial yang berlangsung dalam masyarakatnya.
Kisah orang Samaria inilah yang dapat dijadikan model bagi visi toleransi otentik: toleransi yang menempatkan matra kemanusiaan jauh melampaui kerangkeng identitas dan kepentingan politik.
Pertama, setiap agenda, kebijakan serta kerja politik karitatif dan advokatif harus menerima manusia dan kemanusiaannya tanpa harus terlebih dahulu menempatkan indikator-indikator kategorial tertentu seperti suku, agama, ras, latar belakang kultural serta ekonomi politik subjek.
Keterbukaan yang melampaui fragmen-fragmen partikular akan menempatkan setiap manusia dalam kontur kemanusiaan yang sejajar dan luhur.
Kedua, kaidah toleransi otentik mampu memperluas horizon masyarakat serta komunitas politik modern dalam mengidentifikasi dan memperlakukan sesamanya dari belahan dunia lain.
Toleransi dengannya tidak cukup kalau hanya dikembangkan sebatas pada tataran administratif, rumusan hukum formil, dokumen penelitian teoretis serta wejangan verbal semata.
Toleransi otentik juga memampukan kita untuk mengakui bahwa identitas bukanlah sebuah kategori yang final.
Upaya melampaui kategori-kategori partikular dalam proyek-proyek kemanusiaan global hanya menjadi mungkin apabila masyarakat manusia memiliki imajinasi kolektif yang kreatif bahwa identitas manusia selalu berada dalam proses menjadi.
Identitas subyek tak dapat didefinisikan secara total karena ia bersifat kontingen dan mengandung sebuah ruang lack yang abadi.
Edik Nantes
Terdapat sebuah ungkapan klasik dari sastrawan Jerman abad ke-18/19, Johann Wolfgang Goethe, yang diutarakannya sebagai catatan kritis atas praktik toleransi yang dirumuskan dalam dokumen klasik bernama Edik Nantes (Edikt von Nantes).
Ungkapan tersebut berbunyi demikian: “Toleransi harus berkembang menuju pengakuan. Memperbolehkan adalah sebuah penghinaan.”
Toleransi dalam penglihatan yang jauh lebih radikal sesungguhnya hanya merupakan sikap sementara.
Toleransi perlu berkembang menjadi pengakuan otentik bahwa keberagaman dan perbedaan adalah aspek riil yang memberi bentuk pada kehidupan manusia.
Kisah orang Samaria bisa menjadi inspirasi yang untuk belajar ikhwal mencintai dan menerima yang lain dalam seluruh dirinya, termasuk identitas partikular yang membuatnya berbeda.
Akhirulkalam, figur orang Samaria sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini adalah sosok simbolis dari orang-orang yang bersedia membuka diri, melampaui sekat perbedaan dan mau menolong sesamanya.
Kisah kebaikan dan kemurahan hati orang Samaria tersebut adalah miniatur naratif dari bentuk toleransi otentik berbasis pengakuan atas luhurnya nilai-nilai kemanusiaan.* `