Fri. Nov 22nd, 2024

Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan penulis biografi, tinggal di Bekasi

Adalah ajaran universal bahwa manusia merupakan makhluk paling mulia di antara ciptaan Tuhan. Begitu mulianya, manusia disebut “Citra Allah” atau  “Wajah Allah”.

Ini memberi pesan penting bahwa setiap manusia harus memerlakukan atau diperlakukan oleh sesamanya dengan wajar dan penuh penghormatan.

Dan orang yang mengakui adanya Allah dan melantam-lantamkan nama Allah, semestinya menjadi pelaku utamanya.

Setiap manusia pasti punya nama, dan biasanya nama yang dipatrikan itu indah, memiliki arti dan makna indah dan mendalam.

Lihatlah! Tidak ada orang yang secara serampangan memberi nama pada anaknya. Atau menyematkan nama secara sembarangan pada gedung, monumen atau binatang kesayangannya.

Yohanes Pembabtis: Luruskanlah jalan bagi Tuhan

Kata filsuf Plautus, Nomen est Omen atau “nama adalah tanda”. Tanda untuk apa? Tanda atau harapan atas pemberian atau penyematan sebuah nama itu.

Baru-baru ini mantan Gubernur DKI Anies R. Baswedan berkunjung ke sebuah gereja di Papua. Oleh pimpinan gereja di sana, ia diberi nama Yohanes. Sehingga kalau ditulis lengkap, namanya menjadi Yohanes Anies Rasyid Baswedan.

Tentu saja ritual tersebut bukan ritual pembaptisan yang biasanya dengan rumusan: “Yohanes (kalau yang akan dibaptis itu memakai nama Yohanes), aku membaptis engkau dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus”. Bukan!

Kembali kepada “nama adalah pertanda” atau Nomen est Omen. Di dalam nama lebur banyak harapan.

Pemberi nama berharap bahwa menyandang nama itu mendapat roh atau semangat yang ada dalam nama yang disandangnya. Pada gilirannya yang bersangkutan menunjukkan bukti dalam hidup dan perilakunya.

Tidak ada yang memberi nama “Kucing Garong” atau “Kerbau Liar” atau “Ikan Bau” pada anaknya kan?

Dalam tradisi Kristen, khususnya Katolik, nama baptis selalu diambil dari nama tokoh-tokoh dalam Alkitab atau dari nama mereka yang oleh karena kesucian hidupnya digelari Santo atau Santa.

Bagaimana dengan nama Yohanes yang diberikan kepada Anies Baswedan? Ada banyak orang penting (atau bahkan santo seperti Santo Yohanes Chrisostomus atau “Si Mulut, Yohanes Paulus II, Santo Yohanes XXIII, Santo Yohanes Nepomuk Nueman, dll) yang telah memakai nama Yohanes.

Namun, saya menduga, nama yang diberikan kepada Anies merujuk pada nama tokoh Yohanes Rasul atau Yohanes Pembaptis.

Nama Yohanes berarti “Tuhan  Maha Baik”. Yohanes Pembaptis adalah tokoh yang menyerukan pertobatan bagi kedatangan Yesus Kristus.

Dikatakan, Yohanes Pembaptis ini memakai jubah dari bulu unta dan ikat pinggang kulit.  Makanannya belalang dan madu hutan (Bdk. Matius 3:4). Dia berkeliling di padang gurun sambil berseru-seru: “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya”.

Sedangkan Yohanes Rasul, murid kesayangan Yesus itu adalah penulis Injil.

Peran kedua tokoh itu sangat jelas dan penting dalam sejarah iman Kristen.

Akankah misi suci yang diemban oleh oleh duo Yohanes tersebut akan tampak “dalam perjalanan menciptakan pertobatan dalam jalan Pilpres yang Yohanes Anies Baswedan tempuh ke depan?”

Rasanya, Yohanes Anies Baswedan ini harus membersihkan dulu dengan benar jalan penuh onak yang pernah ia tempuh dalam dalam jejak Pilgub 2017 lalu.

Membersihkan? Ya, politik identitas yang menyeruak dalam Pilgub DKI 2017 telah sangat merusak kohesi warga Jakarta dan masuk ke sumsum warga seantero negeri ini. Telah menciptakan polarisasi yang sangat berbahaya.

Ungkapan “Ayat dan Mayat” adalah peninggalan legendaris dan fenomenal dari Pilgub yang mempertemukan Anies – Sandy dan Ahok – Jarot itu.

Belum pernah satu kali pun Yohanes Anies Rasyid Baswedan mengklarifikasi perilaku brutal yang dialamatkan kepadanya itu.

Ya, semoga perilaku baru lahir dari kelahiran baru bersama nama Yohanes. Selamat Tahun Baru.

 

 

Related Post