Thu. Nov 21st, 2024
Martinus Bobo Milla

 

Oleh Martinus Bobo Milla, Orang SBD, tinggal di Jakarta

Sebagai kelahiran Sumba Barat Daya (SBD) yang keluarga besarnya berada di SBD, saya sangat prihatin dengan berita di media online tentang adanya warga yang kesulitan mendapatkan beras. Kalaupun ada, harganya sangat mahal. Dikatakan, mereka hanya goreng jagung siang malam.

Fenomena kenaikan harga memang sedang melanda negeri ini. Pulau Jawa juga mengalami hal yang sama. Terjadi kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.

Ketika muncul harga yang tinggi, pemerintahan di Pulau Jawa ramai-ramai mencari solusi untuk menekan harga, misalnya dengan menggelar operasi pasar atau bahasa sederhananya menambah pasokan beras di pasaran sehingga harga kembali normal.

Menurut berita yang saya baca di tempusdei.id, Bupati SBD Kornelis Kodi Mete justru gembira menanggapi kenaikan harga beras yang luar biasa. Alasannya, petani bisa untung. Katanya lagi, yang tidak bisa membeli beras dengan harga tinggi itu, berarti bukan petani.

Di akhir berita itu, Bupati mengatakan bahwa harga beras melejit bukan karena gagal panen, tapi karena petani tidak bekerja dengan baik.

Saya pulang ke Sumba tahun lalu. Artinya sudah lama sekali, tapi apakah saya tidak tahu apa yang sedang terjadi di Sumba saat ini? Tentu jawabanya, saya tahu!

Sekarang ini kita bisa tahu kondisi ril di Sumba, bahkan sampai ke kandang babi keluarga, kita bisa lihat. Artinya, untuk mengetahui keadaan nyata di Sumba, tidak butuh waktu atau uang banyak. Tidak perlu pulang ke Sumba.

Saya tidak sependapat dengan Bupati yang seolah-olah menyalahkan petani yang tidak bekerja dengan baik. Realitanya orang SBD bukan pemalas, tapi karena hama belalang yang menyerang tanaman warga sehingga banyak petani yang gagal panen.

Bahkan dua atau tiga bulan yang lalu kami di grup whatsap masih berdiskusi mengenai hama belalang di Sumba. Bahkan seorang bupati di daratan Sumba pernah menginap di kebun bersama masyarakat mengusir belalang.

Apakah Bupati SBD tidak tahu atau tidak mendengar berita itu? Saya tidak sependapat kalau dikatakan, kenaikan harga beras disebabkan oleh petani yang tidak bekerja dengan baik

Dan mengenai pendapat Bupati yang mengatakan bahwa dengan kenaikan harga beras justru menguntungkan petani, saya justru makin yakin bahwa Bupati tidak tahu apa yang terjadi di daerahnya sendiri.

Perlu Bupati ketahui, beras yang masuk di pasar SBD bukan beras lokal yang berasal dari petani di Sumba tapi dari luar Sumba. Terus, dengan harga tinggi, petani yang mana yang untung? Apakah warga SBD adalah petani semua yang mempunyai sawah dan ladang?

Lalu bagaimana dengan warga SBD asal daerah lain yang tinggal di SBD, apakah mereka bukan tanggung jawab seorang Bupati?

Saran saya kepada Bupati SBD, lakukan koordinasi dengan pimpinan di pusat untuk mencari solusi agar harga tidak melambung tinggi apalagi dengan curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan lahan pertanian warga berpotensi gagal panen karena terendam banjir.

Minimal sambil menunggu masa panen tiba, ada usaha jangka pendek Pemerintah untuk mengatasi hal tersebut.

Pak Bupati SBD, rakyat tidak mampu dan tidak bisa berkoordinasi dengan pimpinan yang lebih tinggi. Karenanya, kepala daerahlah yang jadi harapan untuk menyampaikan keadaan warganya ke pemerintah pusat. Kalau Anda sudah mengatakan, tidak bisa berbuat lain selain meminta Bulog jual beras murah, ke mana rakyat harus mengadu?

Salam hangat dari rantau!

BERITA TERKAIT: https://www.tempusdei.id/2023/02/10010/harga-beras-di-sumba-capai-18-ribu-kg-masyarakat-hanya-goreng-jagung-bupati-sbd-jagung-goreng-juga-makanan.php

Mampirlah sejenak di LAPIERO TV

Related Post