Oleh Tuan Kopong, MSF, Dari Manila, Philipina
Kasus intoleransi masih saja terjadi di negara kita tercinta Republik Indonesia. Suara atau semangat “NKRI Harga Mati” selalu berhadapan dengan tabuh intoleransi atas nama agama dan kelompok.
Kasus intoleransi di Indonesia semakin parah dan memperihatinkan. Bukan saja terjadi antara penganut agama yang satu agama dengan agama lain. Namun, mulai kelihatan terjadi antara satu kelompok tertentu dalam agama yang sama dengan kelompok yang lain.
Uniknya, peristiwa intoleransi itu seringkali muncul dalam bentuk kesalehan yang dibungkus dengan ketidakjujuran.
Mau tidak mau, kita harus akui bahwa peristiwa intoleransi itu ada, namun kita lebih kerap membungkusnya dalam bahasa yang saleh.
Misalnya kita katakan: “Mereka yang melakukan tindakan intoleransi tidak bergama, hanya mengatasnamakan agama”.
Dan yang lebih parah, muncul pernyataan: tidak pernah terjadi persekusi, situasi aman dan kondusif untuk menggapi sebuah berita intoleransi yang telah viral.
Dengan dua perilaku “saleh” yang kerap menjadi tameng untuk tindakan intoleran, secara sadar kita memberi mereka ruang untuk terus melakukan tindakan intoleran, bahkan seakan menyetujui tindakan intoleran sebagai tindakan yang benar.
Yang bisa muncul dalam benak pelaku adalah “Tidak masalah melakukan tindakan intoleran, toh pada akhirnya hanya dihakimi tidak bergama”.
Tidak jarang juga yang ditempuh adalah “jalan damai” sebab ini paling aman dan tampak “menyelesaikan masalah”.
Tidak Pernah Jujur
Kita tidak pernah jujur mengakui tindakan intoleran itu dilakukan oleh orang beragama. Juga tidak mau mengakui bahwa tindakan intoleran itu memang ada.
Kita selalu berdalih bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran serta penghargaan terhadap perbedaan.
Padahal, dalam kenyataannya yang selalu menjadi alasan tindakan intoleran adalah “atas nama agama”.
Katanya, semua agama mengajarkan kebaikan, kebenaran dan penghargaan terhadap perbedaan.
Yang kerap terjadi justru sebaliknya. Ada “oknum” kelompok agama tertentu yang justru selalu melakukan tindakan intoleran. Bahkan tidak segan-segan melakukan persekusi terhadap sesama penganut agama mereka.
Rasa “hormat” yang begitu besar kepada kaum intoleran melalui dua perilaku saleh di atas pada gilirannya membungkam suara-suara kebenaran mayoritas. Dan ini dengan sendirinya menciderai nilai toleransi.
Bukan Sekadar Hormati Perbedaan
Toleransi bukan sekadar menghormati perbedaan. Lebih dari itu, memberi ruang pada suara-suara kebenaran mayoritas untuk berbicara tanpa tekanan dan paksaan dari dan oleh siapa pun.
Toleransi tidak hanya dimaknai sebatas ruang-ruang gereja, wihara, klenteng maupun masjid. Toleransi harus mampu keluar dari area-area privatisasi untuk menerangi dan memberikan kedamaian bagi siapa pun.
Introleransi seringkali terjadi di tanah air karena banyak oknum yang mereduksi privatisasi agama ke wilayah-wilayah tertutup rumah-rumah ibadah.
Bahkan yang seringkali terjadi adalah privatisasi agama lebih sering direduksi ke dalam klaim mayoritas dan minoritas.
Hal ini dengan sendirinya mem-framing ketakutan bagi sebagian kaum minoritas untuk menerima begitu saja tindakan intoleran (bdk. Evengelii Gaudium, no. 255).
Framing ini sangat nampak ketika ada tindakan intoleran dari oknum kelompok yang mengatasnamakan agama mayoritas.
Yang muncul adalah sebuah kesalehan semu: “Maklum minoritas. Lebih baik diam daripada tambah kacau”.
Atau “Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.
Atau “Tidak akan mengurangi imanku dan biar Tuhan yang membalasnya.”
Ungkapan-ungkapan tersebut sangat saleh. Namun, tanpa sadar justru ikut memberikan ruang bagi tindakan intoleran terus terjadi dan bertumbuh subur.
Sekali lagi, ungkapan-ungkapan tersebut tampak saleh, namun justru membungkam kebenaran mayoritas yang memperjuangkan toleransi.
Toleransi beragama adalah menerjemahkan privatisasi agama dalam ruang-ruang publik dan dalam relasi dengan siapa pun tanpa pernah mempersoalkan cara masing-masing pemeluk agama menghayati agamanya dengan segala simbol dan atributnya.
Toleransi yang tulus tidak membungkus kebohongan dengan kesalehan.
Sepintas dari luar tampak baik, namun hanya untuk memenuhi harapan sebagian oknum kelompok secara pragmatis.
Toleransi yang tulus adalah yang berbicara tentang kemanusiaan, hidup berdampingan dan berjalan bersama sebagai saudara dan tidak lagi mempersoalkan rumah ibadah, simbol dan atribut agama.
Suara “kutukan dan kritik” atas tindakan intoleran demi perdamaian bersama sejatinya adalah toleransi yang melampaui ruang-ruang privatisasi agama.
Dan ungkapan saleh yang tidak menyuarakan kebenaran sejati atas tindakan intoleran adalah bentuk ketakutan dan kebohongan.