Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Dari Pulau Sumba, Indonesia Selatan
P ada hari Jumat Agung ini, pertanyaan yang paling sering mengemuka adalah: “Mengapa Yesus harus mati?”
Ada banyak jawaban atau teori para ahli teologi atas pertanyaan ini.
Dasar dari kejadian dan peristiwa tragis ini adalah tentang dosa dan keadilan Allah.
Di satu sisi manusia berdosa dan karenanya harus dihukum. Di sisi lain Allah diiimani sebagai Allah yang adil dan penuh belaskasih.
Jika Allah hanya mendasarkan pada keadilan semata, maka semua manusia harus mati karena setiap orang berdosa.Tetapi bagaimana dengan belaskasih Allah yang menghendaki manusia hidup?
Sebaliknya jika hanya berdasarkan belaskasih Allah, maka semua manusia bisa diampuni. Tapi bagaimana dengan keadilan Allah?
Jalan tengah yang dipilih adalah bahwa harus ada seorang yang mati mewakili semua tetapi orang itu haruslah pribadi yang tidak berdosa. Inilah yang disebut Teologi Substitusi?
Siapakah pribadi yang tidak berdosa ini? Jawabannya: Yesus.
Rasul Paulus menerangkannya dengan ungkapan ini: “Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita.” (Rom 4:24).
Mengapa Dia? Karena Yesus adalah adalah Manusia sekaligus Allah.
Sebagai manusia Dia mewakili umat manusia untuk menebus dosa, tetapi sebagai Allah, Dia pasti tidak berdosa dan karenanya Dia tidak akan mati selamanya.
“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk 10:45).
Dosa itu ibarat utang yang harus dibayar dan kematian Yesus telah melunasi utang dosa.
Jalan kematian Yesus juga bukanlah sebuah paksaan melainkan sebuah tindakan sukarela.
Dasar dari setiap tindakan sukarela adalah kasih. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Hal ini adalah sikap dasar Yesus sejak awal: melakukan semuanya karena kasih.
Di balik kematian Yesus sesungguhnya terungkap kasih Allah kepada umat manusia.
Surat Yohanes menjelaskannya dengan sangat indah: “Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh 4:10).
Keputusan Allah dan pilihan bebas Yesus inilah yang mampu menggerakkan hati manusia kepada pertobatan.
Ancaman memang bisa membuat orang bertobat, tetapi kasih membuat orang bertobat sekaligus bertumbuh dalam kebaikan.
Dengan peristiwa Yesus ini, manusia juga bisa melihat dan memaknai penderitaan secara berbeda.
Penderitaan tidak melulu sebagai hukuman tetapi juga sebagai tanda kasih.
Salib lalu menjadi persilangan antara Keadilan (vertikal) dan Kasih (horisontal).
“Sebagai penyataan ganda dari keberdosaan umat manusia dan kasih Allah, salib tidak ada bandingannya”. (File Sanchez).
Salam dari Pastoran Ngallu, Mangili, Sumba Timur.