T rilogi tentang Kampung Halaman karya Yoseph Yapi Taum mengungkapkan perasaan kecintaannya pada kampung halamannya yang diwarnai oleh berbagai kenangan dan pengalaman hidupnya.
Puisi “Aku Pulang Kampung”, menggambarkan perjalanan pulang ke kampung halaman yang membawa kembali kenangan masa kecil dan cinta pada puncak gunung yang dipuja.
Puisi ini memperlihatkan rasa syukur dan rindu yang terpendam di hati, serta keinginan untuk kembali memeluk kenangan itu.
Puisi “Hujan di Lembata” menggambarkan suasana hujan di Lembata yang menyisakan kesunyian dan kesepian.
Puisi ini menunjukkan bahwa hujan bisa menjadi simbol kesedihan dan keresahan dalam hidup.
Namun, di balik kesedihan itu, terdapat sepasang kupu-kupu yang menyalakan pelita, yang menunjukkan bahwa ada harapan dan cahaya di tengah kesedihan.
Puisi “Perahu yang Karam” menggambarkan perjalanan cinta yang harus berakhir karena jarak yang memisahkan.
Puisi ini memperlihatkan betapa sulitnya melepaskan diri dari cinta yang terpendam, meskipun harus berpisah dan melepaskan perahu yang sedang menjauh.
Namun, meskipun perahu itu akan karam di pantai yang letih, harapan masih ada, dan hidup akan terus berkelana mencari mata air rindu.
Secara keseluruhan, ketiga puisi ini mengungkapkan perasaan cinta, rindu, dan kecintaan pada kampung halaman dan berbagai kenangan yang terkait dengannya.
Puisi-puisi ini juga mengajak pembaca untuk merenung dan memahami bahwa hidup penuh dengan perjalanan dan pengalaman, serta harapan dan cinta yang terpendam dalam hati.
AKU PULANG KAMPUNG
Terlahir di kampung
di kaki gunung, di masa kecil,
membuatku memuja puncaknya.
Dongeng dan mimpi kanak-kanak
kupahat di kabut menggelayut,
waktu matahari padam.
Ada yang tersembunyi
dan tetap tak terucapkan,
waktu tembang dolanan mulai surut,
puncak gunung dingin dan gelap.
Aku tertidur dalam kehangatan
doa ibu yang perlahan menjauh
dan menjadi kenangan di tanah rantau.
Kini puncak gunung masa kecil itu
memanggilku pulang,
seusai panjang perjalanan.
Amboi, di sini dunia berjalan lambat.
Kusibak dongeng dan mimpi kanak-kanak,
“Betapa awan-awan berkejaran seperti dulu!”
Kupeluk cinta yang kupahat di puncak gunung itu.
Kini pesan itu kuucapkan dengan lantang,
“Aku pulang kampung!”
Yogyakarta, 8 November 2012
HUJAN DI LEMBATA
Ini kali hujan di Lembata menggigilkan
batang-batang jagung yang sedang berbunga,
Lorong-lorong lengang yang masih menyimpan rindu,
Orang asing yang sedang menyepi di sumur tua.
Ini kali tetes-tetes hujan di Lembata
mengunci pintu-pintu rumah yang angkuh,
Menghentikan riak laut di pantai-pantai hampa,
Mengakhiri perjalanan musafir di sebuah ranjang sepi.
Ini kali hujan di Lembata memudarkan mimpi orang asing itu.
Di sudut lain sebuah dusun remang,
sepasang kupu-kupu samar menyalakan pelita.
Yogyakarta, 20 Desember 2022
PERAHU YANG KARAM
Detak jam dimulai sejak kita berjumpa
meski cahaya jingga berkelindap
di antara kenangan manis dan getirku denganmu
Jika cinta itu sempurna,
mengapa kita mengukur jarak
kapan akhir masa penantian tiba
Meski kau dan aku tak bertemu
tangan kita erat bertautan waktu bercinta
Perahu itu sedang menjauh
dan akan lenyap dalam gelap
Di ujung pantai,
perahumu akan bertemu pelabuhan lain
tanpa riak, gelombang, air mata
dan bermimpi tentang seseorang yang lain
Kutahu perahu ini bakal karam di pantai yang letih.
Di sini aku terus berkelana mencari mata air rindu
dan akan menari bersama ganggang di palung samudra
Yogyakarta, 9 Januari 2023
Yoseph Yapi Taum lahir di Ataili, Lembata, NTT, 16 Desember. Saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pendidikan: (1) SMA Seminari San Dominggo, Hokeng (1984), (2) Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta (1984-1985) dari biara Oblat Maria Imaculata (OMI). (3) S-1 dari di IKIP Sanata Dharma (1990); (4) S-2 dari FIB Universitas Gadjah Mada (1995); (5) S-3 dari FIB Universitas Gadjah Mada (2013) dengan disertasi berjudul Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra Tahun 1966-1998.
Ia melakukan penelitian tentang Konflik dan Kekerasan di Papua (2015-2016). Antologi puisinya Ballada Arakian (2015), Ballada Orang-orang Arfak (2019), dan Kabar dari Kampung (2023). Sudah menerbitkan 12 buku.