Oleh Theresia Kabora, Mahasiswa Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik, Unika Weetebula, Sumba-NTT
Komunikasi merupakan aktivitas penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai mahkluk sosial. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain.
Komunikasi bukan sekadar berbicara atau ngobrol, tetapi komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang lebih mengarah pada media yang dapat mempertemukan semua manusia untuk saling menguatkan, saling menyapa, saling meneguhkan, dan saling memahami. Komunikasi dapat dilakukan melalui berbagai cara yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Komunikasi secara langsung artinya bertemu dan berinteraksi langsung dengan orang lain, sedangkan komunikasi tidak langsung berarti komunikasi yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi.
Komunikasi yang baik, yaitu komunikasi yang dapat membebaskan seseorang dari belenggu kebencian, iri hati, egois dan kejahatan serta mampu menghantar seseorang masuk ke dalam suatu peradaban hidup yang baik.
Namun, realita yang terjadi dalam dunia saat ini menunjukkan bahwa tujuan komunikasi masih belum terwujud sebagaimana yang diharapkan. Alat komunikasi sering dijadikan sebagai alat yang dapat membunuh dan menghancurkan sesama bahkan umat manusia.
Sarana untuk Membunuh
Alat komunikasi seakan-akan menjadi sarana untuk mendapatkan kepuasan semata. Maka, tidak mengherankan jika kita mendengar, membaca bahkan menyaksikan dan mengalami langsung perselisihan, penindasan bahkan peperangan, termasuk konflik antarumat beragama.
Salah satu penyebab terjadinya perselihan antarumat agama adalah fanatisme ekstrim di mana setiap agama menganggap agamanya yang paling benar dan paling suci dibandingkan dengan agama lain.
Rendahnya frekuensi dan kualitas komunikasi antarumat beragama berdampak buruk bagi kehidupan beragama. Perselisihan antarumat beragama sudah terjadi sejak dahulu dan masih berlangsung hingga saat di berbagai wilayah atau negara.
Manusia hidup dalam masa yang kelam di mana kepedulian diabaikan, kebenaran dipalsukan, kebaikan disalahkan demi keuntungan pribadi atau kelompok atas nama agama.
Manusia lebih tertarik mempromosikan bahasa kebencian, kehancuran, dan peperangan. Kesalahpahaman, salah persepsi, salah sangka, dan konflik-konflik antarumat beragama sering terjadi karena kurangnya komunikasi dan rendahnya kualitas komunikasi yang dilakukan.
Dua Wajah Teknologi Komunikasi
Munculnya teknologi komunikasi tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga membawa dampak negatif dalam kehidupan beragama seperti saling mengklaim kebenaran, saling mengkritik, saling menghujat dan saling saling mengacam di dunia maya. Media sosial menjadi ruang untuk bertarung dan saling menjatuhkan antarumat beragama.
Akibat selanjutnya dari sikap seperti ini adalah terjadinya diskriminasi, penindasan dan penghilangan nyawa manusia. Situasi komunikasi antarumat beragama seperti ini tidak sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan tidak sesuai denngan tujuan setiap agama.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, Paus Fransiskus mengajak umat Kristiani dan umat manusia dari berbagai latar belakang agama untuk berbicara atau berkomunikasi dengan hati.
Berbicara dengan hati sangat dibutuhkan untuk mempromosikan budaya damai di tempat-tempat dimana terjadi perselisihan dan konflik berkepanjangan serta untuk membuka jalan yang memungkinkan dialog dan rekonsiliasi.
Kekuatan Cinta
Paus Fransiskus menegaskan bahwa dalam dunia media, kita membutuhkan kekuatan cinta yang lembut, agar komunikasi tidak menimbulkan iri hati yang menjengkelkan, memicu kemarahan yang mengarah pada konfrontasi.
Sebagai umat Kristiani kita dipanggil untuk memberikan informasi dan mempromosikan bahasa perdamaian dengan menggunakan teknologi komunkasi dan media sosial yang ada seperti berkatekese, membagikan renungan dan buah-buah refleksi refleksi, memberikan pengetahuan iman, memberikan kata-kata motivasi, memberikan informasi-informasi yang benar dan mempromosikan bahasa perdamaian serta mewartakan Injil.
Dengan cara berkomunikasi yang demikian, kita dapat membersihkan hati sesama dan menyelamatkan jiwa-jiwa di tengah maraknya pergolakan hidup.
Komunikasi mampu membawa perubahan yang baik dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan beragama. Semua komunikasi yang baik atau pembicaraan yang baik muncul dari kerelaan dan kerendahan hati yang berlandaskan pada kebenaran dan kasih yang didasarkan pada Kitab Suci dan ajaran Gereja.
Dengan cara itu, kita dapat mencintai sesama secara baik. Ketika seseorang mencintai sesamanya secara baik bahkan mencintai orang -orang yang membencinya, yang tidak sependapat denganya, yang ingin menjatuhkannya, serta tetap bersikap lemah lembut dan manusiawi, maka orang yang mendengarkan akan diluluhkan hatinya.
Komunikasi yang bersumber dari hati akan membuka dialog untuk menyadarkan orang-orang yang larut dalam kejahatan, kekejaman, keegoisan, iri hati dan dengki atas nama agama untuk hidup dalam damai, kebenaran dan kasih.
Saling Percaya
Menurut Santo Yohanes XXIII, perdamaian sejati hanya dapat dibangun dengan saling percaya, sebuah kepercayaan membutuhkan komunikator, berani dan kreatif serta siap mengambil risiko untuk menemukan titik perjumpaan. Apabila umat beragama berelasi dan berkomunikasi dengan hati sehingga komunikasi diwarnai dengan keramahan, maka perdamaian akan terwujud dalam kehidupan bersama antarumat beragama. Dengan demikian, komunikasi hati menjadi jalan menuju perdamaian sebagaimana yang dirindukan oleh hati setiap manusia dan yang diajarkan oleh setiap agama.