Oleh Emanuel Dapa Loka, Lakawa Piero
Perjumpaan kita dari balai-balai ke balai-balai
mengisyaratkan kerinduan
pada nadi hidup yang mengalirkan
kedamaian bermahkota cinta
Tertangkap pada sorot matamu
rahasia yang engkau simpan rapat-rapat
dalam membran hatimu
tentang masa depan anak-anak dan kampung kita
yang hingga kini masih bermimpi dalam pekat malam
akibat janji Thomas Alva Edison
untuk menerangi dunia belum terwujud di sini
Kalian pernah bergirang
mendengar gairah menerangi seluruh kampung
melalui nazar atau janji “tujuh jembatan emas”
namun janji itu telah menjelma menjadi tinja
yang membaui sudut-sudut kampung,
dan kini malah telah tertiup
angin gunung dan laut selatan sehingga hilang musnah
Rindu pula kalian
jalan bertanah merah ini berlapis aspal
agar kalian tidak mudah tersandung pada batu
dan tidak terpeleset ke dasar jurang
Kalian pun rindu
menjadi perupa bernilai teramat tinggi
pada masa depan anak cucumu
Dan karenanya, raga dan jiwamu tak pernah lelah
walau terpanggang matahari,
terpapar hujan dan embun malam
Kalian pun rindu menganyam lapis-lapis kabut pagi
menjadi setapak ĵalan tikus
untuk mengantar malaikat pembawa air kehidupan
mencapai pelataran kampung
agar legah dahagamu,
agar riang jiwamu
Andai aku bisa memberikan itu semua,
aku akan mengulurkan tanganku sekarang
Andai hanya dengan berkata-kata
sampai mulut ini berbusa
aku sudah bisa menyirami dahagamu,
aku akan terus berkata-kata
Apa boleh kata,
aku masih seorang musafir
yang berjalan kian ke mari
Kalau aku bisa kembali,
aku ingin kembali karena cinta
untuk meretas gelap kampung kita,
untuk membuka terowongan ke jantungmu yang haus,
lalu mengalirlah air ke pusaran-pusaran hidup dan jiwamu
(Refleksi dalam perjalanan Sumba – Jakarta pada 30 Mei 2023)