Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Dari Konventu Redemptoris, Weetebula, Sumba
Salah satu seminaris yang menjadi “tour guide” Basilika Santo Petrus di Roma pernah bercerita suatu kejadian menarik. Dia memimpin sekelompok turis Jepang yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang iman kristiani.
Dengan perhatian khusus dia berusaha menjelaskan mahakarya seni, pahatan, dan arsitektur yang luar biasa. Dia lalu akhirnya membawa mereka di Kapel Sakramen Mahakudus sambil mencoba yang terbaik dalam menjelaskan dengan cepat apa itu.
Saat kelompok itu bubar, seorang lelaki tua, yang sangat perhatian, tetap tinggal, dan berkata, “Maafkan saya. Maukah Anda menjelaskan lagi ‘Sakramen Mahakudus ini?’” Seminaris ini melakukannya lagi.
Setelahnya pria itu berseru, “Ah, jika demikian, apa yang ada di kapel ini adalah karya seni yang lebih besar daripada apa pun di basilika ini.”’
Ya, Sakramen Mahakudus adalah sebuah karya seni dan mukjizat yang tak tertandingi di dunia ini.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa di dalam Ekaristi, Tubuh dan Darah Allah yang menjadi manusia senyatanya, sungguh-sungguh, secara mendasar hadir bersama jiwa dan keilahian-Nya oleh karena “Transubstansiasi” roti dan anggur ke dalam Tubuh dan Darah Kristus. Ini terjadi dalam korban tak berdarah yakni Misa.” (Konsili Trente, 1551).
Apa yang dimaksudkan dengan “transubstansiasi”? Artinya terjadi perubahan substansi. Substansi atau hakikat dari roti dan anggur yang dikonsekrasikan berubah menjadi substansi Tubuh dan Darah Yesus Kristus yang telah dibangkitkan oleh karya Roh Kudus. Akan tetapi “accidents” atau penampakannya (warna, bentuk dan rasa) tidak berubah.
Itulah yang disebut “kehadiran nyata Kristus” atau “the real presence” Dia di tengah umat manusia. Dia bukan sekadar hadir sebagai Roh tetapi sebagai Pribadi yang hidup. Maka ketika kita menerima hosti atau dengan anggur dalam perayaan Ekaristi, walau rasanya tetap rasa roti dan anggur, kita mengimani sungguh menerima Tubuh dan Darah Kristus.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Tentu karena karya Roh Kudus dan diyakini dalam iman. Mengapa harus demikian? Karena itu adalah cara terbaik bagi orang beriman supaya bersatu dengan Yesus, dan itulah cara Yesus untuk tetap hadir di tengah para murid-Nya.
Dia telah menjanjikan bahwa Dia akan bersatu dengan kita dan menyertai kita sampai akhir zaman. Dalam Ibadat Sabda kata-kata-Nya bisa kita renungkan. Tapi itu ternyata tidak cukup. Yesus ingin agar kita bukan hanya mendengarkan Dia tetapi selalu bersatu dengan kita. Itulah sebabnya ada istilah “komuni kudus” yang berarti “communio” atau persatuan dengan Tuhan Yesus.
Dari manakah kita mendapatkan pendasaran teologis dari perayaan ini? Dalam perjamuan malam terakhir Yesus memberikan roti kepada para murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah. Inilah tubuh-Ku” (Mat 26:26). Dan sesudah itu Dia mengambil cawan berisi anggur dan berkata: “Minumlah kamu semua dari cawan ini, sebab inilah darah-Ku…” (Mat 26:28).
Yesus tidak memberikan roti dan anggur sebagai simbol semata, tetapi sungguh-sungguh menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Yesus tidak memberikan roti dan anggur sekadar perwakilan kehadiran-Nya tetapi menghadirkan diri dalam rupa roti dan anggur.
Mengapa tidak sebaiknya roti dan anggur berubah sekalian menjadi daging dan darah? Kalau itu terjadi maka para pengikut Yesus justru menjadi kanibal atau pemakan manusia.
Keagungan misteri ini justru terletak pada perubahan semacam ini; berubah hakikatnya tapi rasa, warna dan bentuknya tetap sama. Inilah mukjizat terbesar yang bisa kita saksikan dan alami dalam setiap perayaan Ekaristi. Tak ada mukjizat yang lebih besar dari ini.
Salam hangat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba, Indonesia Selatan.