Oleh GF Didinong Say, Pengamat sosial, tinggal di Jakarta
Du’a Mo’an Watu Pitu adalah sebuah ungkapan khas dari wilayah adat Krowe di Maumere di masa lalu yang menunjukkan suatu kelompok elit tetua masyarakat dalam sistem sosial politik demokratis terbatas di setiap kampung (hoak hewer).
Dalam proses pemilihan, seorang calon Kepala Kampung (mo’ang Gai atau Ria Bewa) karena kewibawaan genealogis biasanya diendors untuk berkuasa mengatur berbagai urusan kepentingan masyarakat di suatu kampung tertentu.
Namun, sang calon ini perlu mendapat persetujuan dan legitimasi dari kelompok du’a mo’an watu pitu di kampung tersebut.
Seorang mo’ang Gai atau Ria Bewa yang terpilih dengan demikian memiliki sekaligus kewibawaan dan kekuasaan dalam bertugas melayani masyarakat.
Di masa lalu, pada tingkat raja di wilayah Maumere, calon raja sebelum mendapat besluit penetapan dari Gubernur Hindia Belanda disertai penandatanganan korte verklaring, perlu melalui proses musyawarah mufakat di tingkat du’a moan watu pitu itu juga.
Dengan demikian, Raja dari Sikka, Nita, atau Kangae yang pernah memimpin wilayah Maumere di masa lalu itu mendapatkan kekuasaannya berdasarkan dukungan rakyat sekaligus penetapan oleh Kolonial Belanda sehingga menjadi “Mo’ang Ratu” yang berwibawa dan berkuasa dengan sekian privilege.
Selanjutnya, setelah era Kemerdekaan, dampak dan pengaruh persepsi historis kultural ternyata masih cukup kuat dalam sistem sosial politik dan kekuasaan di Maumere.
Seorang pejabat bupati di Maumere yang dipilih sejak tahun 1958 itu, masih sering diposisikan oleh rakyat Sikka seperti seorang “moang Ratu” di masa lalu. Sebutan atau sapaan bapa bagi seorang bupati itu menegaskan kekuasaan sekaligus kewibawaan jabatan tersebut.
Bupati itu bukan sekadar kepala daerah, penguasa wilayah administrasi pemerintahan tingkat II, jabatan politis hasil sistem pemilihan demokratis, dan lain lain. Pejabat bupati di Maumere itu ibarat seorang bapa, pemimpin dalam rumah tangga besar masyarakat kabupaten Sikka
Pergeseran Nilai
Era Reformasi yang memberi ruang bagi kebebasan dan demokrasi ternyata ikut menimbulkan perubahan mindset masyarakat tentang pemimpin dan nilai kepemimpinan.
Rakyat semakin cerdas dalam menilai. Asal muasal kekuasaan seorang bupati bukan lagi karena faktor darah atau keturunan tetapi oleh karena pilihan rakyat itu sendiri.
Dan yang terpenting, kewibawaan seorang bupati itu bukan lagi terkungkung dalam utopia feodalistik melainkan karena berdasarkan pada sikap kritis (evaluasi) atas karakter dan terutama kinerja sang bupati itu sendiri.
Dengan demikian sapaan bapa bagi seorang bupati di masa kini itu tiada lain dari parameter keberhasilan sekaligus pengakuan atas keberhasilan kepemimpinan seorang bupati.
Sapaan bapa itu merupakan refleksi spontan dan tulus pengakuan masyarakat atas kemampuan ‘bisa ngaisia’ bupati yang terwujud dalam berbagai prestasi dan achievements selama ia berkuasa.
Mirip dengan sambutan euforia rakyat kepada Jokowi di mana mana karena puas dan nyaman atas prestasi dan kepemimpinannya.
Etika Komunikasi
Viral adu mulut spontan antara Bupati Sikka dengan seorang jurnalis belakangan ini di Maumere telah menimbulkan berbagai spekulasi pro kontra di kalangan orang Maumere di mana pun. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Bupati bupati di Maumere di masa sebelumnya bukan tanpa oposisi. Tetapi secara etis video viral perdebatan itu telah menimbulkan rasa malu bagi orang Maumere di mana pun. Tena meang poi.
Kearifan lokal Maumere terkait pengakuan terhadap kekuasaan dan kewibawaan seorang bupati, sebutan bapa bagi seorang pejabat bupati, dan lain-lain seperti terinjak injak oleh kritisisme dan independensi media berhadapan dengan sang bupati yang nampak emosional saat itu.
Semoga peristiwa perdebatan ini bukanlah suatu wujud ekspresi umum masyarakat Sikka atas karakter ataupun kinerja bupati. Sebaliknya, perlu juga diklarifikasi apakah jurnalis yang berdebat dengan bupati Sikka itu secara profesional sedang bertugas dalam keadaan yang patut saat itu.