Oleh Celestino Reda, Entrepreneur Asal Sumba, tinggal di Jakarta
Jangan korupsi sebab korupsi membunuh kepercayaan orang, dan dengan demikian matilah gotong royong—Lisa Tirto Utomo
Namanya Lisa Tirto Utomo. Lahir di tahun 1934 dan wafat tanggal 31 Juli 2023 di Rumah Sakit Senior Bogor, di usia 88 tahun. Ibu Tirto, demikian ia biasa disapa.
Bersama suami dan adiknya Slamet Utomo, mendirikan perusahaan air mineral Aqua pada tahun 1973 yang melegenda hingga saat ini. Siapa pun, mulai dari orang miskin sampai dengan superkaya Indonesia, kita yakini pernah mengkonsumsi Aqua.
Ibu Lisa Tirto Utomo adalah perempuan Indonesia keturunan Tionghua dengan nama Kwee Gwat Kien. Matanya sipit dan berkulit kuning langsat, ciri khas orang Tionghua. Kebanyakan orang Nusantara menyebut mereka Cina. Namun di Era Presiden Gus Dur, nama China mulai diredupkan dan digantikan dengan sebutan Tionghua. Ada juga yang menulisnya Tionghoa.
Mengapa dari sebutan China diganti menjadi Tionghua, karena sebutan China sebenarnya pelabelan yang diberikan oleh Jepang kepada orang orang Tionghua ketika Jepang menjajah Tiongkok. Mirip dengan kata In-lander yang disematkan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia.
Dalam sejarah sosial Indonesia, orang-orang Tionghua sering dianggap sebagai musuh dari suku-suku lain di Indonesia. Ini terjadi karena pada masa VOC dan Pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang Tionghua dipekerjakan di posisi atau jabatan-jabatan yang lebih tinggi dari orang pribumi. Misalnya orang Tionghua banyak bekerja di bidang pertambangan karena keahlihannya dalam bertambang dan melebur logam, atau di perbankan karena keahlihannya dalam Matematika dan ilmu hitung.
Jika tidak menjadi pegawai pemerintah, orang-orang Tionghua memilih profesi sebagai pedagang. Mereka masuk dari satu kampung ke kampung lainnya untuk berdagang, sekaligus berinteraksi dengan masyarakat dari suku lain. Secara ekonomi mereka menjadi lebih kaya dan martabatnya menjadi lebih tinggi.
Adu Domba Belanda
Belanda yang mengkhawatirkan hegemoni orang orang Tionghua tidak jarang mengadu-domba orang Tionghua dengan orang Pribumi. Belum lagi pesaingan dagang dengan sarikat-sarikat perdagangan yang lain, ikut mewarnai kebencian orang pribumi kepada etnis Tionghua.
Peristiwa kerusuhan 1998 di mana etnis Tionghua—yang saat itu masih disebut Cina—banyak menjadi korbannya, adalah contoh teranyar dari ekspresi kebencian itu. Karena itulah, setelah tahun 1998, di mana Indonesia masuk dalam orde Reformasi dan Gus Dur menjadi Presidennya, sebutan Cina diredupkan atau dihilangkan dan digantikan dengan sebutan Tionghua.
Kalau kita membaca sejarah dengan jujur, orang-orang Tionghua banyak berjasa untuk orang-orang pribumi. Contoh yang paling baik adalah di bidang Pendidikan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Ratu Belanda menerapkan apa yang disebut sebagai Politik Etis di Nusantara. Produk dari Politik Etis ini adalah dibukanya sekolah-sekolah yang juga bisa dimasuki oleh orang-orang pribumi untuk belajar dan dididik di situ.
Namun sayang, orang-orang pribumi yang bisa bersekolah di sekolah-sekolah pemerintah adalah dari kaum bangsawan atau anak dari pegawai-pegawai di kantor pemerintah. Kaum pribumi kebanyakan, termasuk etnis Tionghua di dalamnya, tidak bisa bersekolah di sekolah pemerintah.
Orang Tionghua yang cerdas, pemberani, dan punya uang, lalu mendirikan sekolah sendiri. Salah satunya Tiong Hoa HWE Koan. Sekolah ini tidak hanya menerima siswa etnis Tionghua, tetapi juga dari kaum pribumi kebanyakan. Sehingga semakin banyak kaum pribumi yang terpelajar. Ini belum termasuk banyaknya kaum pribumi yang mereka pekerjakan di perusahaan-perusahaan dagang mereka.
Singkat cerita, orang-orang Tionghua sebenarnya selalu ingin bersumbangsih di mana pun mereka berada. Tentunya dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka.
Semangat Keluarga Tirto
Semangat itu pula yang saya kira ada dalam diri Ibu Tirto dan Suaminya Tirto Utomo, ketika mereka mendirikan Lembaga nir-laba, Yayasan Tirto Utomo. Ibu Tirto dan suami terpanggil untuk merestarikan seni-seni tradisional yang ada di Indonesia. Mulai dari rumah adat, peralatan musik-tari, hingga tenun ikat.
Jejak pelayanan Yayasan Tirto Utomo tercatat mulai dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur.
Di Sumatera Utara, Yayasan Tirto Utomo merenovasi Museum Pusaka Karo, dua rumah tenun Samosir, hingga renovasi rumah adat Jangga Dolok.
Di Sumatera Barat Yayasan Tirto Utomo ikut merenovasi dan mengembangkan pariwisata di Desa Sumpur. Nagari Sumpur Bersama dengan 4 desa lainnya terpilih menjadi 50 besar Anugerah Dewa Wisata Indonesia (ADWI) 2021 yang digelar Kemenparekraf.
Di Kalimantan Yayasan Tirto Utomo mendukung pembangunan Rumah Budaya Tirto Gelong Meligai (tempat Suci Tertinggi) Sungai Utik, Kalimantan Barat.
Di Nusa Tenggara Timur, Ibu Tirto dan yayasannya mendukung renovasi Kampung Wae Rebo, hingga kampung ini mendapat penghargaan dari Unesco sebagai salah satu jagar budaya warisan dunia.
Dalam mendukung revitalisasi sebuah rumah adat atau kampung adat, Ibu Tirto tidak hanya memperhatikan fisiknya saja, tetapi juga aktivitas seni lainnya yang mendukung pariwisata dan ekonomi di lokasi tersebut.
Itulah yang dilakukan oleh ibu Tirto dan yayasannya ketika mendukung pembangunan Rumah Budaya Sumba di Sumba Barat Daya. Di dalam rumah budaya ini harus banyak terdapat benda-benda bersejarah yang berhubungan dengan budaya Sumba. Sementara di bagian luarnya harus ada pelataran yang asri sebagai tempat pertunjukan seni sekaligus interaksi masyarakat.
Tidak heran di rumah budaya Sumba, selain terus ditambahkan benda benda bersejarah, juga atraksi tari dan seni Sumba sering digelar di tempat ini.
Ibu Tirto sangat terpesona dengan tenun ikat Sumba. Tidak heran busana yang dikenakannya banyak yang dibuat dari kain tenun Sumba.
Ketika acara kremasi atas tubuh Bu Tirto akan dilangsungkan, Arsitek terkenal yang merupakan sahabat Bu Tirto, Yori Antar, menyempatkan meletakkan selendangnya yang bercorak tenun Sumba, diikuti oleh kain tenun lainnya dari Flores, Batak, Jawa, dan sebagainya.
Pesan Ibu Tirto
Dalam kata hatinya, Yori Anta mengingat betul pesan dari Bu Tirto, yaitu untuk tidak korupsi. Sebab korupsi membunuh kepercayaan orang, dan dengan demikian matilah gotong royong. Jika kita tidak korupsi, maka masyarakat akan percaya, dan karena percaya, mereka mau berswadaya, mereka mau memberikan dari apa yang mereka punya untuk kebaikan bersama, untuk masa depan yang lebih baik.
Beristirahatlah dengan damai di keabadian, Ibu Tirto.
Jangan lupa nonton videonya: https://www.youtube.com/watch?v=dsVk9FCkai4&t=5s