Pater Kimy Ndelo, CSsR, Dari Indonesia Selatan
Uskup Agung Anglikan dari Afrika Selatan, Desmond Tutu pernah ditanya apakah dia seorang politisi atau bukan. Dia menjawab, “Bukan. saya bukan seorang politisi. Saya adalah orang Gereja yang percaya bahwa agama tidak hanya berurusan dengan bagian tertentu dari kehidupan.
Agama mempunyai relevansi bagi seluruh aspek kehidupan, dan kita harus mengatakan apakah kebijakan tertentu itu konsisten dengan kebijakan Yesus Kristus atau tidak. Jika anda ingin mengatakan bahwa itu adalah politik, maka saya seorang politisi dalam pengertian ini. Peranan saya sebagai orang beriman, adalah mampu mengatakan: “Demikianlah yang dikatakan Tuhan”.
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikut Aku”, demikianlah kata-kata Yesus dalam Injil MatIus 16:24. Pernyataan ini didahului dengan seruan Yesus kepada Petrus yang menolak menerima penderitaan Yesus.
Dalam teks kita dikatakan: “Enyahlah Iblis”. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan: “Get behind me, Satan”, yang berarti “Tinggallah di belakang, Iblis”. Ungkapan ini lebih mudah dipahami, sebagaimana ditafsirkan oleh Origenes.
“Petrus, tempatmu di belakangku, bukan di depan. Pekerjaanmu adalah mengikuti Aku di jalan yang Aku pilih, bukan mencoba memimpin Aku di jalan yang kau kehendaki”. Iblis dihukum dari hadapan Kristus, dan Petrus sekali lagi dipanggil untuk menjadi pengikut Yesus.
Sebagai Guru Yesus mempunyai ciri khas yang berbeda dengan Guru atau Rabbi pada masanya. Biasanya murid mencari Guru dan tinggal belajar di tempat Gurunya.
Yesus memulai karya-Nya dengan memanggil murid-murid yang pertama. Murid-murid ini dipanggil dengan ajakan yang tidak biasa pada masa itu: ikutlah Aku.
Yesus bukanlah Guru yang menetap, tetapi Guru yang berjalan. Dia pergi dari satu tempat ke tempat lain sambil mengajar tentang Kerajaan Allah dan pada saat itulah para murid-Nya belajar.
Dia mengajak dan mengajar mereka bukan saja tentang bagaimana hidup yang benar tetapi juga bagaimana menyangkal diri dan menderita.
Prinsip kemuridan ini bisa dikatakan aneh bahkan tidak manusiawi. Tiga prinsip utama ini menunjukkan sebuah cara hidup yang sungguh unik dan radikal.
Menjadi murid Yesus bukan sekadar bagaimana menambah pengetahuan tetapi mengubah diri bahkan siap mengurbankan diri. Karena itulah, tidak semua orang dipanggil oleh Yesus dengan ucapan yang sama: ikutlah.
Memilih mengikuti Yesus bukan perkara gampang. Karena itu sejarah mencatat sekian banyak murid Yesus yang hidupnya berakhir dengan penderitaan dan penganiayaan dan banyak pula yang menyerah.
Dan untuk mereka berlaku kata-kata Yesus; Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, dia mendapatkannya kembali. Ukuran keberhasilan menjadi murid Yesus karenanya sering tidak sesuai dengan ukuran keberhasilan menurut dunia.
Uskup Agung Fulton Sheen berkata, “Menjadi orang bodoh bagi Kristus adalah pujian tertinggi yang diberikan dunia. Engkau dan aku berada dalam satu barisan yang baik, karena sebagian besar orang kudus merangkul Salib Kristus dan mereka juga dianggap bodoh karena melakukaan hal itu.”
Sanggupkan anda menerima dianggap bodoh karena memikul salib Kristus?
Salam hangat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba, NTT.