Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, dari Pulau Sumba, NTT
S urat Kepada Diognetus adalah sebuah tulisan terkenal, yang disusun sekitar pertengahan abad kedua Masehi.
Di dalam surat tersebut dikemukakan prinsip-prinsip bijak dan abadi: “Umat Kristiani, baik berdasarkan negara, bahasa, atau adat istiadat, tidak dapat dibedakan dari orang lain.
Tinggal di Yunani dan kota-kota barbar lainnya, setiap orang harus menyesuaikan diri dengan adat istiadat di tempat itu, dalam hal pakaian, makanan, dan sebagainya.
Mereka bersaksi tentang suatu cara hidup sosial yang indah tetapi sekaligus bersifat paradoks. Mereka tinggal di tanah airnya, tetapi sebagai orang asing; mereka berpartisipasi dalam segala hal sebagai warga negara tetapi terlepas dari segala hal sebagai orang asing.
Setiap negeri asing adalah tanah airnya, dan setiap tanah air adalah negeri asing bagi mereka.
Mereka tinggal di tanah airnya, namun kewarganegaraan mereka ada di surga. Mereka mematuhi hukum yang ditetapkan tetapi cara hidup mereka melampaui hukum yang ada. Singkatnya, sebagaimana jiwa ada di dalam tubuh, demikian pula umat Kristiani di dunia”.
Penggalan surat ini menggambarkan secara lebih konkret bagaimana perdebatan Yesus dengan para musuh-Nya, orang-orang Farisi dan kaum Herodian.
Adu cerdik antara Yesus dan para musuh-Nya dalam Injil hari ini berawal dari sebuah pertanyaan menohok: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat 22:17).
Pertanyaan kepada Yesus ini merupakan sebuah jebakan cerdik dari para Orang Farisi yang anti Romawi dan Herodian, yang kompromis kepada Romawi.
Mereka bermaksud untuk menciptakan kesulitan bagi Yesus berhadapan dengan penguasa Romawi saat itu. Latar belakangnya adalah soal pajak.
Saat itu ada tiga macam pajak yang berlaku. Satu pajak tanah, yang dibayar dengan sepersepuluh dari hasil gandum dan seperlima dari hasil minyak dan anggur.
Kedua pajak penghasilan yang besarnya satu persen dari penghasilan.
Ketiga pajak kepala atau pajak sensus. Pajak ini dibayar satu dinar pertahun. Untuk pria dari usia 14 tahun sampai usia 65 tahun. Untuk wanita dari usia 12 tahun sampai usia 65 tahun.
Yang dimaksud dalam pertanyaan Injil hari ini adalah pajak kepala. Ini mengandung arti bahwa jika seorang adalah warganegara, dia berutang uang kepada Kaisar.
Orang Yahudi percaya bahwa hanya ada Satu Tuhan dan Pemberi Hukum, yakni Allah sendiri.
Pajak atau segala jenis kewajiban hanya bisa diberikan kepada Allah.
Pertanyaan tadi sangat dilematis untuk Yesus. Jika Dia menolak membayar pajak, maka dia bisa dilaporkan kepada penguasa oleh para Herodian.
Jika dia mendukung pajak maka para pembenci akan mendapatkan alasan yang tepat untuk mendiskreditkan Dia karena mendukung penguasa kafir.
Sebetulnya pertanyaan ini sangat tidak mudah. Tetapi Yesus lebih cerdik dari perkiraan mereka. Dia justru menjebak mereka dengan kata-kata: “Tunjukkan kepada-Ku mata uang pajak itu” (Mat 22:19).
Dengan menunjukkan mata uang itu berarti mereka sendiri memiliki dan mengakui mata uang yang di dalamnya ada gambar dan tulisan Kaisar. Harusnya mereka tidak membawa mata uang itu jika mereka benar-benar orang Israel sejati.
Mengapa? Karena dalam mata uang itu ada tulisan “Pontifex Maximus” (Imam Agung), sebagai bukti bahwa Kaisar bukan hanya Penguasa Politik tetapi dia juga mempunyai status ilahi.
Mereka sendiri membawa simbol penghinaan kepada agama mereka.
Maka ketika Yesus mengatakan: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”, (Mat 22: 21) mereka sendiri terjebak oleh pertanyaan mereka sendiri.
Dengan kata lain, Yesus menjawab mereka; Karena gambar Kaisar ada dalam koin itu, maka berikanlah koin itu kepada pemiliknya, yakni Kaisar.
Tetapi karena gambar Allah ada dalam dirimu maka berikanlah dirimu kepada Allah. Hati dan jiwamu adalah milik Allah, maka berikanlah itu kepada Allah.
Di sini Yesus mengingatkan kepada mereka akan Kitab Kejadian tentang bagaimana status mereka sebagai manusia (Kej 1:26).
Jawaban Yesus mengakui ketaatan sebagai warga negara tetapi sekaligus menegaskan ketaatan yang lebih besar sebagai warga Kerajaan Surga.
Oleh kelahiran kita adalah warga negara. Tapi oleh pembaptisan kita adalah Surgawi. Kedua status ini tidak perlu dipertentangkan.
Baik negara maupun Allah menuntut ketaatan kita tetapi pada saat tertentu hidup kita harus dipersembahkan kepada Allah semata-mata.
Dalam keadaan normal, tak perlu kita memilih kewajiban kepada Negara atau kepada Allah. Dua-duanya dilaksanakan. Tapi dalam keadaan luar biasa, jika dihadapkan pada pilihan, kita harus memilih Allah. Karena Allah adalah penguasa hidup dan mati kita.
Santo Thomas More mengatakan: “Saya mati sebagai hamba Raja, tetapi Tuhan yang pertama”.