Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan, tinggal di Bekasi
Melihat tampang para koruptor pembegal 271 triliun rupiah dalam korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022, benarlah yang dikatakan Seyla Benhabib seorang filsuf Amerika kelahiran Turki bahwa pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa.
Lihatlah wajah mulus crazy rich Helena Lim atau tampang innocents Harvey Moeis atau penampilan para tersangka lainnya. Nyaris tidak ada yang mengira bahwa mereka adalah terduga pelaku extraordinary crime bernama korupsi.
Kesan yang sama juga didapatkan Hanna Arendt, seorang filsuf politik ternama abad 20 ketika berada di Yerusalem antara 11 April 1961 sampai 14 Agustus 1961 dalam misinya meliput sidang terhadap Adolf Eichmann, penjahat perang dunia ke-2 terkait pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Sebagai prajurit, tugas utama Eichmann adalah mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dari seluruh Eropa ke kamp-kamp konsentrasi buatan Nazi.
Arendt menangkap kesan bahwa Eichmann adalah orang biasa yang sama sekali tidak nampak kejam. Sebaliknya, dia adalah warga negara yang patuh pada hukum.
Yang kurang dari para tersangka korupsi tersebut dan Eichman adalah imajinasi. Mereka tidak berimajinasi tentang akibat dari tindakan mereka. Bahkan ketika diinterogasi oleh dua orang polisi, Eichmann mengatakan bahwa penyesalan terbesarnya adalah tidak dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi di SS Nazi Jerman pada masa itu.
Imajinasi adalah Sayap
Petinju legendaris Muhammad Ali mengatakan The man who has no imaginations, has no wings to fly, manusia yang tidak memiliki imajinasi, tidak memiliki sayap untuk terbang. Bagi Ali, imajinasi itu sangat penting, sebab dengan itu, siapa pun bisa terbang bebas ke mana saja ia mau. Lantas, dari imajinasi, pada gilirannya akan lahir sesuatu yang luar biasa. Terbukti, aneka produk daya imajinasi telah menggoncang dunia.
Jelas, Eichmann dan para koruptor tidak memiliki imajinasi untuk terbang melihat penderitaan orang-orang akibat kejahatan mereka.
Betapa pentingnya imajinasi dan keberpikiran itu. Tanpa imajinasi Thomas Alva Edison, dunia yang kita diami hari ini masih gelap gulita. Imajinasilah yang membuat Thomas Alva Edison tidak berputus asa melakukan eksperimen demi eksperimen sampai akhirnya ia berhasil menemukan lampu pijar yang menerangi dunia.
Konon, baru pada percobaan ke-1000, Thomas Alva Edison berhasil menciptakan lampu pijar yang benar-benar menyala dengan terang. Dia tidak hanya berimajinasi atas keberhasilan percobaan, tapi ia digerakkan oleh imajinasinya terhadap manfaat yang dinikmati oleh orang-orang zamannya dan zaman yang akan datang.
Ya, imajinasi Thomas Alva Edison telah menerangi seantero dunia ini. Atau tanpa imajinasi Leonard Kleinrock, sang penemu internet, kita masih terkungkung dalam batas-batas dunia yang mustahil kita retas. Atau satu lagi, tanpa komputer hasil cipta dan imajinasi Charles Babbage, kita masih berkutat dalam kerja-kerja manualistik.
Tanpa Imajinasi
Hari ini, banyak orang yang abai pada kekuatan imajinasi, karenanya perlu diingatkan kembali. Dengan kekuatan imajinasi, siapa pun bisa membayangkan akibat dari setiap tindakan yang ia lakukan. Andai seorang koruptor atau calon koruptor menghidupkan imajinasinya, niscaya di pelupuk matanya akan terbayang wajah mereka yang layu karena kurang gizi atau malah mengalami gizi buruk.
Dan dengan kekuatan imajinasi pula mereka bisa membayangkan kata-kata Aristoteles yang mengatakan bahwa kejahatan merusak jiwa. Kata Aristoteles seperti dikutip Reza A.A. Watimena dalam Filsafat Anti Korupsi, seorang yang berbuat jahat, hanya tampaknya saja menang dan berkuasa, tapi sebenarnya jiwanya menderita. Oleh karenanya filsuf Yunani dan murid Plato itu menasihati, jika ingin jiwanya selamat, orang harus memilih menderita daripada melakukan kejahatan.
Tampaknya, Helena Lim, Harvey Moeis dan para tersangka lain dalam korupsi 271 T tersebut, tidak cukup kuat dalam “penderitaan”, apalagi sampai memiliki rasa syukur atas titik berdiri mereka, sehingga terjerumus melakukan kejahatan korupsi gila-gilaan.*