Pater Kimy Ndelo CSsR, Salam dari Biara Redemptoris, Davao Filipina
Suatu ketika, seorang ibu membawa putranya yang berusia lima tahun ke konser Ignace Paderewski, pianis besar Polandia. Ibu dan putranya duduk di dekat panggung. Kemudian sang ibu bertemu dengan teman lamanya dan terlibat pembicaraan dengannya. Dia tidak menyadari bahwa putranya telah menyelinap pergi diam-diam ke atas panggung.
Pada satu ketika lampu meredup dan lampu sorot menyala. Baru pada saat itulah sang ibu melihat putranya yang berusia lima tahun di atas panggung, duduk di bangku piano, dan dengan polosnya memainkan lagu “Twinkle, Twinkle, Little star.”
Sebelum dia bisa mengambil putranya, Paderewski berjalan ke atas panggung. Dia menuju ke arah piano, dia berbisik kepada anak laki-laki itu, “Jangan berhenti! Teruslah bermain.” Kemudian, sambil mencondongkan tubuh ke arah anak laki-laki itu, Paderewski mengulurkan tangan kirinya dan mulai memainkan bass. Kemudian, dia menjangkau sisi lain anak itu dan menambahkan obbligato yang sedang berjalan. Bersama-sama, sang maestro hebat dan anak kecil berusia lima tahun memukau penonton dengan kombinasi permainan piano mereka.
“…Lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing” (Kis 2:3)
Roh Kudus turun pada hari Pentakosta dalam rupa”lidah api”. Lidah adalah simbol sekaligus sarana komunikasi. Akibat langsung dari “lidah api” ini adalah bahwa para murid Yesus (termasuk Bunda Maria) dapat berbicara dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh para pendengar mereka yang datang dalam berbagai bahasa dan suku.
Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa karunia pertama Roh Kudus adalah karunia untuk berbicara dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh orang lain. Para murid Yesus menjadi suara Tuhan untuk mewartakan Kabar Gembira.
Di satu sisi ini menjadi kontras dengan pengalaman menara Babel (Kej 11) di mana orang-orang-orang yang saling kenal justru tidak bisa saling mengerti bahasa masing-masing. Perpecahan dan pertengkaran terjadi karena tak ada saling memahami.
Kedatangan Roh Kudus membuat orang-orang saling mengerti sekalipun menggunakan bahasa yang berbeda. Roh Kudus mempersatukan orang-orang yang berbeda. Roh Kudus membantu para murid untuk berbicara dengan berani dan benar.
Di sisi lain pewartaan Injil menjadi mudah ketika orang saling memahami. Sarana utama pewartaan awal adalah bahasa lisan. Saat itu tulisan belum menjadi sarana pewartaan sampai datang Surat-Surat Paulus dan Kitab Injil.
Dalam arti yang lebih luas, berbicara dan saling memahami bukan hanya dalam konteks bahasa verbal atau bahasa lisan. Bahasa yang digunakan bisa juga berupa bahasa isyarat atau bahasa tindakan. Sebagai orang beriman kita mengenal istilah “bahasa kasih” yang membuat orang yang berbeda latar belakang, pengetahuan, bahkan suku budaya dan bahasa, mampu saling memahami.
Paulus mengatakan: buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan (Gal 5:22). Pertama-tama hal-hal semacam ini terwujud dalam interaksi antar pribadi atau komunikasi dengan orang lain. Tanpa interaksi yang sehat buah-buah roh ini tak akan terwujud. Tanpa komunikasi yang baik, buah roh tak bisa dinikmati.
Orang yang dipimpin oleh Roh adalah orang yang menggunakan lidahnya dengan baik, benar dan bermanfaat, terutama untuk mewartakan Kerajaan Allah dalam rupa pengampunan dan kasih.
Gambaran sang maestro besar dan anak kecil berusia lima tahun yang sedang bermain piano di atas merupakan gambaran yang cocok tentang Roh Kudus yang turun ke atas para murid. Pada hari Pentakosta pertama, Roh Kudus membisikkan dorongan semangat kepada para murid. Roh Kudus mengubah kelemahan para murid menjadi sesuatu yang penuh kuasa.**