Oleh Febry Silaban, Munshy
Pasti masih banyak yang bingung, mana terminologi yang benar: PANTEkosta, PENTAkosta, atau PENTEkosta?
Kata “pantekosta” pertama kali tercatat dalam Alkitab terjemahan Dr. Hillebrandus Cornelius Klinkert, yang menggunakan dialek bahasa Melayu. Dalam perkembangan berikut, istilah tersebut berubah menjadi “pentakosta” yang pertama kali digunakan dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).
Bila diselisik, kata “pantekosta” sendiri tidak memiliki arti. Mengapa? Mari kita rujuk ke bahasa aslinya. Kata “pentakosta” berasal dari bahasa Yunani πεντηκοστης – pentêkostê, bentuk feminin dari πεντηκοντα – pentêkonta, yang artinya “50” (lima puluh).
Urutannya, Pente (= 5), Pentekonta (= 50), Pentakosio (500), dan Pentakiscilioi (5.000).
Kata “Pentekoste” dalam bahasa Ibrani disebut: חַג הַשָּׁבוּעוֹת – “Khag Syavu’ot”, Hari Raya Tujuh Minggu. Hari Raya Tujuh Minggu ini disebut juga Hari Raya Menuai dan Hari Raya Bungaran (Kel 23:16; 34:22; Bil 28:26). Kemudian, hari itu dikenal sebagai Hari Raya Pentakosta karena dirayakan pada hari ke-50, dihitung dari hari Sabat, permulaan Hari Raya Paskah. Hari ini ditandai dengan perkumpulan kudus dan mempersembahkan korban-korban.
Sebagaimana diketahui, dalam tradisi Israel, setelah 7 kali 7 tahun (49 tahun), maka tahun ke-50 akan menjadi tahun Jobel, saat terjadi pembebasan total bagi mereka yang menjadi budak atau mengalami pendudukan. Dalam hitungan hari, setelah 7 kali 7 hari (49 hari), hari Pentakosta (hari ke-50) biasanya dirayakan juga (Im 23:15-21; Ul 16:9-11). Hari ke-50 adalah hari Minggu, satu hari setelah Sabtu Sabat ke-7.
Secara sederhana, Pentakosta dapat diartikan sebagai hari ke-50, yaitu lima puluh hari sesudah Paskah. “Pentakosta” dapat dimaknai sebagai hari raya panen (Perjanjian Lama) dan hari turunnya Roh Kudus (Perjanjian Baru).
Jadi, kalau kembali ke pertanyaan di atas tadi, yang betul “Pantekosta” atau “Pentakosta” atau “Pentekosta”?
Memang terlihat sepele saja karena dalam ketiga kata tersebut hanya “berbeda tempat” antara huruf “a” dengan huruf “e”, tapi masih dengan huruf-huruf yang sama. Analoginya, begitu juga dengan huruf-huruf yang sama pada kata “ramah”, kita juga bisa menyusunnya menjadi “marah”, atau “kelapa” menjadi “kepala”, yang tentu saja berbeda artinya, bukan hanya karena kepala tak sebulat kelapa.
Agar tidak terjadi salah pengertian bahkan salah kaprah, perlu diingatkan kembali penggunaan istilah yang benar dan tepat. Saat ini, istilah yang sudah berterima banyak orang adalah “Pentakosta”. Namun, menurut saya, sesuai kaidah serapan dan etimologi yang saya jelaskan di atas, terminologi yang lebih tepat adalah “PENTEKOSTA”.
Akan tetapi, entah “Pantekosta” atau “Pentakosta” pun “Pentekosta”, sejatinya tidak mengurangi pemahaman umat dalam memaknai salah satu momen penting dalam perjalanan iman umat Kristen tersebut. Walau tak diperingati seramai hari Natal atau Paskah, hari Pentekosta tak kalah penting untuk diperingati sebagai momen berdirinya Gereja Kristen perdana.
Hari Raya Pentakosta merupakan hari pencurahan Roh Kudus ke atas para rasul di Yerusalem sebagai titik awal terbentuknya Gereja perdana. Gereja perdana (jemaat mula-mula) terbentuk justru pada hari Minggu, yaitu hari Pentekosta, lima puluh hari sesudah Sabat Sabtu (Im 23:15-16).
Sisi lain yang agak kontroversial, pada saat Pentakosta, terdapat karunia lidah (karunia bahasa). Tatkala murid-murid yang telah berkumpul dipenuhi dengan Roh Kudus pada hari Pentakosta, mulailah mereka “berkata kedalam bahasa-bahasa (glôssai) lain” seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk dikatakannya (Kis 2:4-11). Banyak orang Yahudi dari luar Palestina tercengang mendengar puji-pujian bagi Allah yang dalam bahasa (glôssa, Kis 2:11) dan dialek-dialek (dialektos, Kis 2: 6-8) yang dipakai di negeri mereka sendiri.
Yang dimaksud dengan bahasa lidah–bukan bahasa roh — di sini adalah bahasa lidah yang “benar-benar” merupakan karunia Roh Kudus, bukan bahasa lidah yang dibuat-buat, dipelajari, atau ditiru dan ditampilkan oleh pemimpin ibadah kelompok tertentu dalam pujian-pujian dalam gereja masa kini, dengan bunyi-bunyian yang dihafal dan terpola untuk penampilan, biar kelihatan keren dan rohani.
Sekarang, tinggal Anda uji sendiri, jika ada di antara kita yang “menggunakan bahasa lidah.” Benarkah “bahasa lidah” yang diucapkan itu, benar-benar Roh Kudus yang memberi? Ataukah sekedar ikut-ikutan, atau sekadar menghafalnya dalam pola-pola pengucapan tertentu?
“Ucapan-ucapan yang bagaimana?” Anda tentu tahu yang saya maksud.
Mari beribadah dan berdoa apa adanya, bersuara apa adanya dengan jujur dengan takut dan hormat akan Tuhan.
Dalam peribadatan, kita berhadapan dengan Sang Empunya Hidup.
Hari ini tepat hari ulang tahun gereja kita secara universal. Happy Birthday!
Proficiat! Dies Natalis Primae Ecclesiae!