Pater Kimy Ndelo CSsR, Salam dari Biara Redemptoris Kogarah, Sydney, Australia
Gempa bumi Armenia tahun 1989 hanya membutuhkan waktu empat menit untuk meratakan negara tersebut dan membunuh 30.000 orang.
Beberapa saat setelah gempa berhenti, seorang ayah berlari ke sekolah dasar untuk menyelamatkan putranya. Sesampainya di sana, dia melihat bangunan itu sudah rata.
Melihat bongkahan batu dan puing-puing itu, hatinya tenggelam tanpa harapan hingga akhirnya dia teringat janji yang pernah dia ucapkan kepada putranya;, “Apa pun yang terjadi, Nak, aku akan selalu ada untukmu.”
Didorong oleh janji tersebut, dia menemukan area yang paling dekat dengan ruangan putranya dan mulai menarik bebatuan dan menggali tanah. Orang tua lain datang dan mulai menangisi anak-anak mereka.
Mereka mengatakan hal-hal seperti, “Sudah terlambat. Anda tahu mereka sudah mati. Anda tidak dapat membantu.” Bahkan seorang petugas polisi mendorongnya untuk menyerah. Tapi ayah itu menolak.
Selama delapan jam, lalu enam belas jam, lalu tiga puluh dua, dan kemudian tiga puluh enam jam dia menggali. Tangannya lecet, tenaganya habis, tapi dia menolak untuk berhenti. Akhirnya, setelah tiga puluh delapan jam yang memilukan, dia menarik kembali sebuah batu besar dan mendengar suara putranya. Dia memanggil nama putranya, “Arman! Arman!” Sebuah suara menjawabnya dan berkata, “Ayah, ini aku!”
Kemudian anak kecil itu menambahkan kata-kata berharga yang akan diingat ayahnya hingga hari kematiannya: “Ayah, saya sudah bilang kepada anak-anak lain untuk tidak khawatir. Saya katakan kepada mereka, jika kamu masih hidup, engkau akan menyelamatkan saya, dan ketika engkau menyelamatkan saya, mereka juga akan diselamatkan. Karena Ayah pernah berjanji: “Apa pun yang terjadi, Nak, aku akan selalu ada untukmu.”.
Ketika hari menjelang malam, Yesus mengajak murid-murid-Nya menyeberangi laut Galilea. Ini sebetulnya adalah sebuah danau yang terletak 600 kaki di bawah permukaan laut. Panjangnya 13 mil dari utara ke selatan dan 8 mil dari timur ke barat. Danau ini terkenal karena badai yang bisa muncul kapan saja.
Ketika angin dingin bertiup dari barat, lembah, cekungan, bukit bertindak seperti corong yang menekan badai dan membiarkannya turun ke danau untuk menciptakan gelombang yang dahsyat. Angin bertekanan tinggi menerpa danau dengan keras dan tiba-tiba sehingga mengejutkan, menyebabkan badai yang hebat dan tak terduga.
Walaupun murid-murid Yesus adalah nelayan yang terbiasa dengan gejolak danau ini, mereka malah lebih panik daripada Yesus yang bukan nelayan. Karena ketakutan yang amat sangat mereka membangunkan Yesus yang tidur nyenyak dan malah menuduh Dia tidak peduli dengan keselamatan mereka.
Yesus lalu bangun dan menghardik angin badai ini: Diam! Tenanglah! (Mrk 4:39). Kata-kata Yesus ini merupakan perintah langsung, yang menunjukkan kuasa Yesus atas kekuatan destruktif. Kata-kata Yesus seketika menghasilkan ketenangan yang menyelimuti danau.
Mukjizat ini menunjukkan bahwa Yesus memiliki kuasa mengontrol alam yang tak dapat dijinakkan secara manusiawi. Dia mampu mengendalikan dan mengubah keadaan yang membahayakan hidup manusia.
Sebaliknya, para murid menunjukkan betapa rapuh dan lemahnya kepercayaan mereka pada Yesus. Mereka mengakui Yesus sebagai Guru dan Nabi, tapi mereka tidak sungguh percaya akan kasih dan perlindungan Yesus dalam situasi yang mereka sendiri tak mampu kontrol. Mereka justru panik, kalang-kabut dan dikuasai ketakutan ketika badai hidup menerpa.
Gereja dalam sejarahnya dan tiap pribadi dalam perjalanan hidupnya pasti pernah menyeberangi danau yang diselimuti badai yang menakutkan. Badai itu bisa bersifat alamiah tapi bisa juga badai secara fisik, emosional dan badai hidup rohani. Badai ini bisa mengakibatkan dua pilihan: entah kita berlari kepada Tuhan dan meminta pertolongan atau justru menjauhkan kita dari Tuhan dan bahkan dari sesama.
Ketika kita kehilangan orang terkasih, Yesus menenangkan kita dengan jaminan bahwa dia akan berada di rumah Bapa yang kekal.
Ketika badai ketidakpastian bahkan tekanan hidup menerpa, Yesus memberi kedamaian bahwa Dia berjalan bersama kita menuju masa depan yang lebih baik.
Bahkan ketika Yesus nampaknya tidak menenangkan badai kemarahan, emosi dan kebencian kita, Dia menuntun kita agar kita tidak tenggelam olehnya.
Yesus meredakan angin badai; tidak semua angin badai dan untuk selamanya, tetapi angin badai pada saat tertentu ketika ketenangan itu memang dibutuhkan.
Beriman dalam Yesus yang selalu ada dan hadir dalam hidup kita, bukan terutama untuk menghilangkan badai, tetapi lebih untuk menghilangkan ketakutan kita. Bersama Yesus kita berani berlayar mengarungi badai hidup, terutama ketika kita sedang menjala umat manusia untuk Kerajaan Allah.*