Oleh Benyamin Molan, Dosen Multikuturalisme, Unika Atmajaya Jakarta
“Pater”, “Romo”, “Profesor“ Cornelis Adrianus Maria Bertens MSC tutup usia pada Jumat 19 April 2024 pukul 18.38. Beliau adalah salah satu begawan Etika yang tidak asing lagi bagi para etikawan.
Sebagai profesor di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, dia terus giat mengembangkan pendidikan Filsafat, khususnya Etika (Filsafat Moral), dan memperkenalkannya melalui kegiatan pendidikan di lingkungan Universitas, penerbitan buku-buku, penulisan artikel di berbagai media, atau juga lewat penyampaian makalah-makalah saat menjadi narasumber di berbagai seminar, simposium, loka karya bertema etika, di berbagai kegiatan dan organisasi.
Dosen
Setelah meraih gelar doktor di Universitas Katolik Leuven, Belgia, pada tahun 1968 dia datang ke Indonesia dan mengajar Filsafat di Seminari Tinggi Pineleng Manado. Kemudian ke Jakarta mengajar Filsafat di berbagai perguran tinggi termasuk di STF Driyarkara. Sejak tahun 1983 dia menjadi dosen Etika di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta dan bekerja di Pusat Pengembangan Etika (PPE).
Selanjutnya beliau diangkat menjadi Kepala PPE dari tahun 1984 sampai 1995. mengembangkan kuliah-kuliah filsafat di Unika Atma Jaya. Banyak kegiatan dilakukan seperti seminar, simposium, penulisan buku-buku ajar, jurnal. Beliau menuls banyak buku terkemuka yang digunakan dalam perkuliahan di bidang Etika. Hasil penjualan buku-buku itu dihimpunnya untuk beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswa termasuk juga mahasiswa kedokteran dari daerah-daerah yang kekurangan dokter seperti NTT. Banyak mahasiswa sudah mendapatkan bantuan beasiswanya.
HIDESI
Selain mengembangkan etika melalui pendidikan di ruang kuliah dan berbagai kegiatan lain seperti penerbitan buku kuliah (textbook) bacaan ilmiah, penulisan artikel, kegiatan seminar, simposium, workshop dan lain-lain, Bertens juga memelopori terbentuknya organisasi Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI). HIDESI perlu dikenang sebagai organisasi di bidang etika yang didirikan atas prakarsa beliau. Pada Januari 2020 yang lalu Hidesi merayakan ulang tahunnya yang ke-30. Catatan bersejarah ini telah diselebrasikan dengan penerbitan buku berjudul “Refleksi 30 Tahun Hidesi”.
Dalam buku tersebut Prof. Johanis Ohoitimur dari STF Seminari Pineleng Manado, antara lain menulis: “Initiatif pertama berdirinya HIDESI berasal dari Prof. Dr. Kees Bertens, yang waktu itu menjabat sebagai kepala Pusat Pengembangan Etika (PPE) Universitas Atmajaya Jakarta.
Namun dalam sebuah wawancara Prof Bertens mengakui: “Tetapi saya tidak mungkin berani mengemukakan gagasan organisasi ini, jika tidak didukung oleh rekan-rekan dosen Etika dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.” (Refleksi 30 Tahun Hidesi hlm. 2) .
Setelah merasa didukung, Bertens menulis sepucuk surat pada tanggal 2 Juli 1990. Surat itu dialamatkan kepada para Dosen Etika di Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Baik negeri maupun swasta. Surat penting yang distensil itu tentu saja tidak viral seperti di zaman sekarang. Surat dikirim ke beberapa dosen Etika yang secara personal dikenal, atau ke perguruan tinggi yang diketahui alamatnya. Sadar akan keterbatasan itu, Bertens berharap agar penerima suratnya melanjutkan informasi kepada dosen Etika yang mungkin dikenal.
“Jika anda mengenal Dosen Etika lain yang ingin menjadi anggota, tetapi tidak menerima surat dan formulir ini, Anda bisa membuat fotocopy untuk dia atau memberitahukan namanya kepada alamat kami,” begitu Bertens menulis.
Selanjutnya Prof Johanis menyampaikan bahwa beberapa hal penting tercantum dalam surat itu antara lain “Mereka yang berkecimpung dalam pengajaran Etika atau Filsafat Moral sampai sekarang belum memiliki forum komunikasi untuk berdiskusi dan bertukar pikiran tentang ilmunya. Terpaksa semua pengajar Etika sampai sekarang bekerja dalam suasana monolog. Padahal Etika—dan Filsafat pada umumnya–sudah sejak permulaan di Yunani menganggap dialog sebagai suatu kebutuhan pokok”.
Selanjutnya menurut Bertens kebutuhan ini mendesak: “Nampaknya di antara semua cabang Filsafat, Etikalah yang saat ini paling banyak diminati dan dipentingkan. Dewasa ini manusia terus bergumul dengan pertanyaan tentang yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan”.
Prof. Yohanis Ohotimur membenarkannya dengan mengatakan “Ilmu Etika terus bekembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Muncul berbagai cabang Etika yang sasaran penelitiannya semakin spesifik, seperti Etika Bisnis, Etika Bbiomedis, Etika Lingkungan Hidup dan sebagainya.” (hlm. 3).
Tidak Ada Rahasia
Prof Bertens juga giat berkecimpung dalam bidang pendidikan kedokteran, di kampus Kedokteran Atma Jaya Pluit terutama menyangkut etika kedokteran yang kerap dikenal sebagai Etika Biomedis.
Berkaitan dengan ini ada sebuah cerita kecil. Banyak orang di kampus mengetahui bahwa sekitar sebulan yang lalu beliau dirawat di rumah sakit. Setelah sehat dan pulang dari rumah sakit, beliau sempat mampir ke kampus Atma Jaya. Seorang ibu dosen yang pernah menjadi anak buahnya menyapa beliau dengan antusias, “Apa kabar Pater, sudah sehat setelah dirawat di rumah sakit?” Dan apa jawab beliau? “Tidak ada rahasia di sini”. Kelakar yang cerdas. Bukankah ini harus dirahasiakan dalam dunia medis?
Buku Lama dan Buku Baru
Ada salah satu peristiwa yang selalu saya ngat. Suatu ketika setelah selesai kelas Etika Umum di Fakultas Hukum, beliau memanggil saya dan mengatakan ingin memberi saya buku yang baru, tetapi buku yang lama harus dikembalikan. “Wah, Pater. Bukunya sudah penuh dengan corat-coret,” kata saya spontan. Dan apa jawabnya? “Bagus, berarti bukunya dipakai,” sambil tertawa. Itulah cara dia mengontrol apakah dosennya terus dan selalu updating.
Slamat jalan, Romo, Pater, Profesor, Begawan Etika. Terima kasih semuanya, bukunya, dan pesan di baliknya. Rest in peace.