Oleh Emanuel Dapa Loka,Warga Paroki Bekasi Utara, Gereja Santa Clara
Pausku yang mulia, aku tulis surat ini dengan perjuangan berat. Ketika baru mulai mengendap-endapkan keinginan untuk merajut kata-kata untukmu, dadaku sudah berdebar kencang. Kalau benar bahwa tanda yang muncul pada raga adalah refleksi dari jiwa, maka mungkin saja jiwaku juga sedang bergetar.
Aku tidak mengerti mengapa, tapi sekelebat, terbayang di hadapanku wajah teduh seorang ayah yang memandangiku hangat, lalu menyendengkan telinga hendak mendengarkanku. Aku yakin, itu adalah bayanganmu.
Sesungguhnya, aku enggan menulis surat ini, apalagi melayangkannya kepadamu, sebab aku kuatir suratku hanya akan teronggok dan tidak berarti apa-apa dibanding berpucuk-pucuk surat lain yang ditulis orang-orang yang jauh lebih bernyali dariku.
Namun, setelah menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kembali, aku berhasil mengumpulkan energi untuk meneruskan rajutan kata-kata hatiku. Aku memberanikan diri menulis, siapa tahu surat yang keluar dari dalam jiwa yang gemetar ini bisa bernasib mujur, lalu sampai ke hadapanmu melalui tangan-tangan gaib, dan engkau pun membacanya.
Teranyam Kekaguman
Pausku, terus terang, di dalam jiwaku yang kusebut tak bernyali ini teranyam kekaguman yang luar biasa padamu segera setelah terdengar pekikan Habemus Papam usai asap putih mengepul dari cerobong asap Kapella Sistina pada 13 Maret 2013 silam.
Ketika engkau mengatakan, ”Vocabor Franciscus” atau “Panggil saya Fransiskus”, aku pun kaget. ”Mengapa harus ganti nama? Bukankah nama Jorge Mario Bergoglio yang engkau sandang sudah bagus?” tanyaku dalam hati.
Aku yang kurang berpengetahuan ini kemudian paham bahwa berganti nama semacam itu sudah mentradisi.”Oh mungkin karena paus baru hendak mewarisi sikap hidup sederhana nan spartan dari Santo Fransiskus Asisi dalam mencintai dan mengabdi Tuhan Yesus dan Gereja-Nya,” gumamku
Aku lalu mencari lebih jauh, siapakah engkau yang dijuluki “Paus dari Dunia Baru”. Dan hal yang paling mengena atau terbetot di hatiku adalah kesederhanaanmu. Engkau benar-benar membawa serta gaya hidupmu dari Buenos Aires, kota yang juga akrab dengan perkampungan kumuh atau villas misserias.
Engkau benar-benar membuatku semakin terheran-heran ketika dari pemberitaan aku tahu bahwa engkau memilih tinggal di flat dua kamar sederhana di Domus Santa Marta, dibanding tinggal di istana kepausan yang katanya megah. Walau belum pernah ke Vatikan, aku bisa sedikit membayangkan megahnya istana kepausan itu dari siaran langsung Misa Natal atau Paskah dari Vatikan.
Engkau memilih tinggal di tempat yang sederhana, lalu dari situ memberikan pelayanan istimewa kepada orang-orang kecil. Betapa tidak dikatakan begitu? Pada Misa Kamis Putih pertamamu sebagai Paus, engkau memilih melakukan ritual cuci dan cium kaki di penjara.
Engkau merendahkan diri dan hatimu serendah-rendahnya agar mereka yang merasa martabatnya telah hancur oleh dosa dan kejahatan, pulih lalu bergegas membalik arah ke ruang hati mahasuci Tuhan. Di sana, Tuhan mendekap mereka kembali dengan penuh kasih.
Bukan Pansos
Aku haqul yakin bahwa dengan itu semua engkau tidak sedang melakukan Pansos atau panjat sosial agar menarik perhatian lalu “subscriber-mu” bertambah. Sama sekali bukan itu. Maaf, aku memakai pengandaian ini karena terpengaruh oleh fenomena Medsos di mana orang dengan berbagai cara yang kadang aneh-aneh, berusaha mencari perhatian.
Pada kesempatan lain, engkau hendak membersihkan Vatikan dari tindakan-tindakan koruptif. Engkau ingin, mereka yang berada di jantung Gereja sungguh menunjukkan perilaku hidup dan beriman yang otentik. Engkau mau mereka menjadi teladan karena mengonkretkan iman yang mereka pelajari dari buku, kelas kuliah dan ruang-ruang permenungan selama bertahun-tahun itu dalam perbuatan.
Pausku, kagumku tak ada putusnya. Semoga ini tidak berlebihan, ya. Pada kali yang lain, engkau mengatakan, seorang gembala haruslah berbau domba. Aku mengira-ngira yang engkau mau katakan adalah bahwa gembala semestinya hadir di tengah kehidupan umatnya yang penuh dengan kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan, termasuk hidup yang tidak wangi, bahkan berbau pesing.
Ya, dengan itu engkau hendak mengingatkan agar para gembala itu benar-benar mengenal hidup dan jatuh bangun perjuangan kawanan gembalaan mereka, lalu memberi diri bagi kehidupan kawanan itu. Betapa tidak mudah!
Aku yakin, sabda “Gembala berbau domba” ini berlaku untuk semua kawanan di mana pun; bukan hanya untuk kawanan yang di perumahan elite dan mereka yang selalu wangi atau necis serta klimis. Dengan demikian, gembala itu tidak hanya berbau parfum mahal nan bermerk, tapi juga beraroma umat yang berkeringat tanpa pewangi, yang bahkan terkena sebangsa deodoran apa pun tidak pernah.
Sayangnya, Bapa Pausku, maaf kalau saya terkesan “mengadu” nan subyektif berlebihan, ada sejumlah gembala yang salah menerjemahkan “nasihat sucimu” tersebut. Ada yang tergoda hanya mau berjalan bersama mereka yang wangi, kinclong dan menghirup udara di tempat-tempat yang menyegarkan paru-paru dan mata.
Aduh! Semoga gembala-gembala yang sempat membaca suratku ini tidak over sensitive, ya Bapa Paus. Tapi kalaupun ada yang “tersinggung”, tidak apa-apa. Malah jujur, saya berharap mereka tersinggung lalu berubah.
Bapa Suci yang baik, aku juga terpesona ketika engkau mengatakan bahwa mereka yang mengalami kelainan secara seksual harus diterima sebagai keluarga, bahkan pasangan sejenis berhak diberkati—yang lalu menyulut kontroversi di berbagai belahan dunia.
Engkau dituding hendak melegalkan perkawinan sejenis. Padahal yang engkau maksudkan dengan “memberkati”, bukanlah menikahkan. Bagimu, siapa pun berhak mendapat berkat, bukan? Setiap orang adalah anak Allah, dan karenanya berhak mendapatkan cinta, rahmat dan berkat.
Aku lalu berseloroh, kalau ada yang mengira dan berkoar-koar bahwa engkau hendak melegalkan pernikahan sejenis, barangkali orang itulah yang sedang Pansos di era Medsos ini, sebab click bait telah menjadi dewa penentu kehidupan para “pecandu” Medsos itu.
Mereka tidak tahu bahwa baik engkau atau siapa pun pejabat Gereja Katolik yang menyetujui pernikahan sejenis, berarti sedang melawan tiga hal sekaligus, yakni Alkitab, Magisterium dan Tradisi Suci. Dan kalau sudah begitu, apa lagi yang bisa disebut Gereja Katolik? Selesai!
Ah, Pausku! Tak terasa, suratku sudah cukup panjang. Puji Tuhan, dadaku tidak berdebar lagi. Maka dengan penuh sukacita, aku ucapkan kepadamu, “Selamat datang ke negeri kami, Papa”. Semoga kedatanganmu kian menyinari dan menyiangi cinta kami kepada Bangsa dan Gereja kami, yakni Gereja yang tidak malu-malu mengindonesia.
Bantu kami dengan doa-doamu agar Pancasila yang kami banggakan dan yang konon terkenal juga di Vatikan, tetap menjadi roh ajaib yang menjiwai bangsa kami.
Semoga dengan itu, dan dalam restu Tuhan Yesus bersama Bunda Maria, kami tetap hidup rukun dan nyaman sebagai anak bangsa, dan serentak dengan itu tidak menjadi pengecut dalam mewartakan iman melalui kata-kata yang bertuah dan cara hidup yang mengagumkan di negara tercinta ini—tempat kami tinggal dan nantinya meninggal.**