Pada masa-masa yang paling gelap, cahaya masih mampu bersinar. Itulah yang terjadi pada Bl. Karl Leisner, seorang diakon Jerman yang yang ditahbiskan menjadi imam di kamp konsentrasi Nazi.
Menurut biografi singkat yang dimuat dalam L’Osservatore Romano pada tahun 1996, Leisner belajar teologi di Keuskupan Munster dan mencoba mendirikan kelompok pemuda Katolik, tetapi karena Nazi berusaha mengendalikan semua pekerjaan pemuda, ia harus mengajak para remaja untuk melakukan perjalanan ‘berkemah’ ke Belgia dan Belanda, di mana mereka dapat dengan bebas mendiskusikan ajaran Gereja.
Dalam banyak hal, pekerjaannya mirip dengan St. John Paul II (YP II), yang akan melakukan perjalanan “berkemah” selama pendudukan Soviet di Polandia.
Tidak butuh waktu lama bagi Nazi untuk mengirim Leisner ke pekerjaan wajib, dengan harapan dapat menghancurkan tekadnya. Namun, hal ini justru membuat Leisner semakin berkomitmen pada iman Katoliknya. Ia akan menyelenggarakan “menghadiri Misa Minggu untuk rekan-rekan sekerjanya.”
Ditahbiskan di Dachau
Ia akhirnya ditangkap karena menentang Hitler dan dikirim ke kamp pentahbisan di Dachau. Di sanalah ia ditahbiskan sebagai imam:
Ditahbiskan sebagai diakon oleh Uskup von Galen pada tahun 1939, ia ditahan pertama kali di Freiburg dan kemudian di Mannheim dan Sachsenhausen karena mengkritik Hitler.
Pada tanggal 14 Desember 1941, ia dipindahkan ke kamp konsentrasi Dachau, di mana, pada hari Minggu Gaudete, 17 Desember 1944, ia diam-diam ditahbiskan sebagai imam oleh Uskup Prancis Gabriel Piquet, yang telah diterima di kamp tersebut dengan bantuan otoritas keagamaan setempat.
Ia sangat sakit sehingga ia harus menunda Misa pertamanya selama lebih dari seminggu. Leisner mampu bertahan hidup hingga akhir perang, tetapi meninggal tak lama kemudian akibat efek perawatan yang diterimanya di Dachau.
St. Yohanes Paulus II menganggapnya sebagai seorang pahlawan dan membeatifikasinya pada tahun 1996.
YP II berkata saat membeatifikasinya, “Keberanian imannya dan antusiasmenya terhadap Kristus harus menjadi stimulus dan model terutama bagi kaum muda, yang hidup dalam lingkungan yang dicirikan oleh ketidakpercayaan dan ketidakpedulian.” (Aleteia)