Oleh Emanuel Dapa Loka, Umat yang merindu, tinggal di Bekasi
Saya sengaja membuat judul yang agak panjang, agar maksud saya langsung jelas mulai dari judul. Namun, semoga dengan tulisan ini, saya tidak segera divonis sebagai salah satu umat yang banyak maunya atau yang banyak tuntutan. Siapalah saya ini sehingga banyak menuntut.
Sama sekali tidak menuntut, hanya menyatakan kerinduan. Ya, saya merindukan imam yang melalui khotbah atau homilinya menyampaikan ide atau pesan atau harapan secara luwes nan lugas. Khotbah terasa luwes dan tidak monoton, antara lain kalau sang imam (atau siapa pun) tidak “terikat mati” pada teks yang dia siapkan. Sayang saja, kalau khotbah yang memakan waktu 15 sampai 20 menit atau lebih itu berlalu begitu saja. Lalu pada kesempatan berkhotbah berikut, berkhotbah lagi dengan gaya yang sama.
Tentu saja, khotbah menjadi berlalu begitu saja, bukan melulu karena imam berkhotbah monoton, tapi juga mungkin karena kami umat yang tidak memberi perhatian. Kerap kali, boleh saja fisik kami dalam ruangan gereja, tapi hati dan pikiran kami berada atau melayang-layang ke tempat lain.
Untuk itu, kami minta dibantu (minta lelulu) dengan khotbah dan cara berkhotbah yang menarik, mengandung pesan yang jelas dan tidak monoton. Lagi-lagi maaf, saya tidak menuntut, hanya menyatakan kerinduan.
Khotbah atau homili merupakan bagian integral dari liturgi yang utuh dalam sebuah perayaan Ekaristi. Liturgi Sabda memberi pendasaran yang kuat terhadap bagian berikut, yakni Ekaristi. Ibaratnya, liturgi Sabda (khotbah atau homili) seperti pak tani yang membajak sawah sampai lumpur pada petak-petak sawahnya halus untuk kemudian ditanami bibit.
Menyebut liturgi Sabda sebagai persiapan memasuki liturgi Ekaristi, tidak berarti bahwa Liturgi Sabda “kalah kelas” dengan Ekaristi.
Terus terang, kerap kali kami umat ini tidak mampu menangkap khotbah para imam. Mungkin karena daya teologis dan filosofis khotbah terlalu tinggi. Mungkin juga karena pengetahuan kami tentang Kitab Suci yang belum nyambung dengan ulasan sang imam.
Penyebab lain, umat tidak menaruh perhatian, atau malah ada yang sibuk dengan ponselnya. Atau penyebab lain karena memang khotbah tidak jelas secara konsep dan penyampaiannya “seadanya” antara lain dengan membaca teks yang sudah disiapkan. Nah! Tentang yang terakhir ini, saya harus ulangi lagi: saya rindu imam yang khotbah tanpa “terikat mati” pada teks.
Connect dengan Hidup Umat
Bukankah khotbah itu adalah hasil olah pikir dan rasa sang imam atas teks Kitab Suci yang kemudian diletakkan dalam konteks kehidupan umat yang bertabur kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan? Karena itu, khotbah semestinya memiliki sangkut paut dengan pergumulan, perjuangan, tantangan dan peluang kehidupan umat atau audience.
Dan agar khotbah imam nyambung dengan kehidupan umat, maka seperti dikatakan Paus Fransiskus, imam harus menjadi “gembala yang berbau domba”. Dengan berbagai cara, imam mengenal pergumulan semua lapisan umatnya.
Harapan selanjutnya, sabda yang diwartakan dengan uraian dan kemasan yang bagus nan menarik itu mendarat dan meresap dalam pengalaman konkret umat, lalu bersalin rupa menjadi “modal” atau teman umat mengarungi kehidupan konkret.
Berkhotbah atau homili, seperti halnya jenis berbicara yang lain termasuk dalam “seni berbicara di depan umum”. Dalam ilmu Homiletika, para calon imam memang sudah memelajari “seni” ini, namun belum cukup. Perlu mendapat atau sentuhan improvisasi sesuai dengan situasi dan perkembangan.
Semestinya juga ada irama yang dimainkan melalui intonasi, rumusan kalimat yang bernas, diksi yang bertenaga dan bahasa tubuh hidup (tanpa over acting). Kita semua pasti setuju bahwa sesuatu yang monoton pasti tidak menarik. Ibaratnya, sebuah taman bunga tidak menarik kalau hanya ditumbuhi satu warna bunga.
Adalah sebuah “kecelakaan” kalau audience atau umat tidak menaruh perhatian, atau hanya pura-pura menaruh perhatian karena duduk di depan dan terlihat langsung oleh imam.
Terima kasih sudah membaca kerinduan saya ini hingga selesai. Tidak harus dipenuhi seutuhnya juga, sebab kalau sudah terpenuhi secara tuntas, tamatlah riwayatnya sebagai kerinduan.*
(Sumber: Majalah UTUSAN No 8 Tahun ke-74, Agustus 2024)