Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Kandidat Doktor STF Driyarkara
Konflik antara retorika dan filsafat dalam literatur Yunani abad keempat SM bukan hanya sebuah perselisihan akademik, tetapi mencerminkan perjuangan fundamental dalam menentukan esensi sejati dari paideia—pendidikan dan pembentukan karakter.
Di tengah konflik demikian berdiri dua tokoh besar: Isocrates (436–338 SM), yang mewakili retorika, dan Platon (427-348 SM), sang filsuf. Pertarungan antara keduanya bukan sekadar debat intelektual, melainkan pertempuran ideologis yang mencerminkan kebutuhan dan dorongan masyarakat Yunani kala itu.
Dalam kerangka ini, analisis Marrou (1964) menunjukkan bahwa budaya filosofis, alih-alih memutuskan hubungan dengan pendidikan sebelumnya, justru dilihat sebagai kelanjutan dan pengayaan dari pendidikan tersebut.
Sementara itu, pendidikan sebelumnya mulai berfungsi sebagai penyebut umum antara budaya filosofis dan saingannya, yaitu budaya retorika Isocrates. Dengan demikian, perbedaan antara filsafat dan retorika akhirnya dipahami bukan sebagai dua pendekatan yang saling bertentangan secara mutlak, melainkan sebagai dua spesies dari genus yang sama, dua cabang dari pohon yang sama.
Dalam konteks paideia Yunani, konflik antara retorika dan filsafat merupakan faktor penting dalam pembentukan humanisme.
Platon, seorang filsuf, mengkritik retorika sebagai alat manipulatif yang lebih mengutamakan persuasi daripada kebenaran. Bagi Platon, retorika sering kali merongrong pencarian akan pengetahuan sejati dan moralitas, yang merupakan inti dari paideia, atau pendidikan yang membentuk karakter dan intelektual seseorang.
Di sisi lain, Isocrates, seorang orator terkemuka, memandang retorika sebagai sarana penting dalam membentuk individu yang dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik dan politik. Dia menekankan pentingnya kemampuan berkomunikasi dan persuasi dalam kehidupan bermasyarakat, yang juga merupakan bagian dari humanisme.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan dua pendekatan terhadap pendidikan: satu yang berfokus pada pencarian kebenaran melalui filsafat, dan lainnya yang menekankan kemampuan praktis dalam kehidupan publik melalui retorika.
Dalam konteks ini, humanisme Yunani tidak hanya tentang pengembangan intelektual, tetapi juga tentang pembentukan individu yang berdaya dalam masyarakat, di mana filsafat dan retorika saling melengkapi dalam pendidikan yang holistik.
Dalam analisis Marrou (1964) retorika, yang dijunjung tinggi oleh Isocrates, menekankan pada kemampuan berbicara persuasif dan berkomunikasi dengan efektif, melihat pendidikan sebagai alat praktis kehidupan publik dan politik. Sebaliknya, Platon, dengan filsafatnya, menganggap bahwa pendidikan harus berorientasi pada pencarian kebenaran yang mendalam dan transendental, melampaui sekadar utilitas praktis.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh Isocrates terhadap metode pendidikan humanistik di Eropa sejak Renaisans tidak bisa dipungkiri. Dia dianggap sebagai bapak dari humanistic culture, sebuah tradisi yang menempatkan retorika sebagai pusat pendidikan, di mana keahlian berbahasa dan persuasi menjadi ciri khasnya. Tradisi ini terus berlanjut hingga hari ini, terlihat dalam metode pengajaran modern yang masih menekankan pentingnya keterampilan komunikasi.
Namun, dominasi retorika dalam sejarah humanisme akademis perlu diimbangi dengan pemahaman yang lebih luas tentang paideia Yunani.
Paideia bukan hanya soal retorika, tetapi juga meliputi filosofi, ilmu pengetahuan, dan seni. Mengabaikan peran filsafat dalam paideia adalah menyederhanakan sejarah pendidikan Yunani yang kaya dan kompleks. Dalam konteks ini, konflik antara Isocrates dan Platon menyoroti ketegangan antara dua visi pendidikan yang berbeda—yang satu pragmatis dan berorientasi pada kehidupan sosial, sementara yang lain filosofis dan berorientasi pada kebenaran.
Dalam retrospeksi, perdebatan ini bukan hanya soal metode pendidikan, tetapi juga tentang nilai-nilai yang mendasari budaya Yunani. Seiring berjalan waktu, perdebatan tersebut mungkin mengalami degradasi menjadi perselisihan akademis belaka, tetapi pada awalnya, konflik ini mewakili kekuatan-kekuatan vital yang membentuk peradaban Yunani.
Oleh karena itu, pemahaman kita tentang paideia Yunani tidak dapat dilepaskan dari kritik terhadap humanisme akademis modern, yang sering kali terlalu menekankan aspek retorika sambil mengabaikan kedalaman filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, relevansi dari pertarungan kuno ini masih terasa hingga hari ini. Perdebatan demikian mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan dalam pendidikan—antara keterampilan praktis dan pencarian kebenaran, antara retorika dan filsafat—dalam upaya kita (pendidik) membentuk individu yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga bijaksana dalam berpikir.*