Mon. Sep 16th, 2024

Perjumpaan dengan Yesus memanggil kita untuk menghayati dua sikap mendasar, yang memungkinkan kita menjadi murid-murid-Nya. Sikap yang pertama adalah mendengarkan Sabda Allah dan sikap yang kedua adalah menghayati Sabda itu.

Pertama ialah mendengarkan Firman. Segala sesuatu bermula dari mendengarkan, dari keterbukaan diri kepada-Nya, dari menyambut anugerah berharga dari-Nya, yaitu persahabatan. Akan tetapi, adalah penting pula untuk menghidupi Sabda Allah yang telah diterima supaya tidak menjadi pendengar sia-sia yang menipu diri sendiri (bdk. Yak. 1:22); supaya tidak hanya mendengar dengan telinga tanpa benih Firman itu turun meresap dalam hati dan mengubah cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Hal itu sama sekali tidak baik.

Sabda Allah yang dianugerahkan kepada kita dan kita dengarkan, meminta kita meminta agar ia menjadi hidup, merubah hidup kita, dan menjelma dalam kehidupan kita. Inilah dua sikap yang penting yang dapat kita renungkan dari Bacaan Injil yang baru saja diwartahan: mendengarkan Sabda Allah dan menghayati Sabda Allah itu.

Pertama-tama, mendengarkan Sabda Allah. Penginjil Lukas mengisahkan bahwa banyak orang berbondong-bondong datang kepada Yesus dan orang banyak itu “mengerumuni Dia hendak mendengarkan Sabda Allah” (Luk. 5:1).

Orang banyak mencari Yesus. Mereka lapar dan haus akan Sabda Tuhan dan mereka merasakan Sabda Allah itu bergema dalam perkataan Yesus. Oleh karena itu, peristiwa ini, yang diulang berkali-kali dalam Injil, memberitahu kita bahwa hati manusia selalu mencari sebuah kebenaran yang mampu memenuhi dan memuaskan kerinduannya akan kebahagiaan; bahwa kita tidak bisa puas hanya dengan perkataan manusia, kriteria-kriteria dunia dan penilaian-penilaian duniawi.

Kita, sejatinya, selalu membutuhkan cahaya yang datang dari atas untuk menerangi langkah kita, air hidup yang mampu melepas dahaga gurun pasir jiwa, penghiburan yang tidak mengecewakan karena datangnya dari surga dan bukan dari hal-hal fana yang ada di bawah sini.

Pada saat yang sama, saudara dan saudari, Sabda Tuhan meminta untuk menjelma secara nyata di dalam kita dan karena itu, kita dipanggil untuk menghidupi Sabda Tuhan itu. Mengulangi Sabda Allah saja, tanpa menghidupinya, membuat kita menjadi seperti burung beo karena saya tidak mengerti dan tidak menghidupi apa yang saya katakan. Bahkan, setelah Ia selesai berkhotbah kepada orang banyak dari atas perahu, Yesus berpaling kepada Petrus dan mendesak dia mengambil risiko untuk berpaut pada Sabda Allah itu: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan” (ay.4 ).

Sabda Tuhan tidak bisa hanya berupa gagasan abstrak yang indah atau hanya membangkitkan emosi sesaat. Sabda Allah meminta kita untuk mengubah pandangan kita, membiarkan hati kita diubah menjadi serupa dengan gambaran Kristus. Sabda Allah memanggil kita untuk dengan berani menebarkan jala Injil di tengah lautan dunia; untuk “mengambil risiko”, ya, mengambil risiko dengan menghayati kasih yang Dia ajarkan dan jalani terlebih dahulu. Tuhan, dengan kekuatan Firman-Nya yang menyala-nyala, meminta kita juga, saudara dan saudari, untuk menuju ke kedalaman, untuk melepaskan diri dari kebiasaan buruk, ketakutan dan keadaan biasa-biasa saya, untuk berani menjalani hidup baru. Iblis menyukai keadaan biasa-biasa saja! Melalui keadaan itu, iblis memasuki kita dan menghancurkan kita.

Tentu saja, hambatan dan alasan untuk mengatakan tidak, selalu ada. Namun, mari kita lihat kembali sikap Petrus. Dia baru saja melewati malam yang sulit, di mana dia tidak menangkap apa pun. Dia marah, dia lelah, dia kecewa. Namun, alih-alih dilumpuhkan oleh kekosongan dan terhalang oleh kegagalannya sendiri, ia berkata: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apaapa. Tetapi atas perintah-Mu aku akan menebarkan jala juga” (ay. 5). Atas perintah-Mu aku akan menebarkan jala. Dan, kemudian terjadilah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya; keajaiban sebuah perahu yang dipenuhi ikan hingga hampir tenggelam (bdk. ay. 7).

Saudara-saudari, berhadapan dengan banyaknya tugas kehidupan kita sehari-hari; pada panggilan yang kita semua alami untuk membangun masyarakat yang lebih adil, dan untuk bergerak maju di jalur perdamaian dan dialog – jalur yang telah ditelusuri di Indonesia selama beberapa waktu -, kita terkadang merasa tidak mampu.

Kita merasakan beban dari begitu banyak komitmen yang tidak selalu membawa hasil yang diinginkan atau kesalahan kita yang seolah menghentikan perjalanan.

Namun, dengan kerendahan hati dan iman yang sama seperti Petrus, kita juga diminta untuk tidak terus menerus menjadi tawanan hegagalan-kegagalan kita. Ini adalah hal yang sangat buruk, karena kegagalan menimpa kita dan kita bisa menjadi tawanan dari kegagalan-kegagalan itu. Saya mohon, janganlah kita terus menjadi tawanan atas kegagalan-kegagalan kita.

Daripada tetap terpaku pada jaring kita yang kosong, marilah kita memandang Yesus dan percaya kepada-Nya. Jangan melihat jala kita yang kosong, lihatlah Yesus, lihatlah Yesus! Dia akan membuatmu berjalan, Dia akan membuatmu berjalan dengan baik, percayalah pada Yesus! Kita selalu bisa mengambil risiko untuk bangkit kembali dan menebarkan jaring kita lagi, bahkan ketika kita telah melalui malam kegagalan, masa kekecewaan di mana kita tidak mendapatkan apa pun.

Sekarang saya akan mengheningkan cipta sejenak dan anda masing-masing memikirkan kegagalan-hegagalan anda. [Hening seyenak].

Dengan melihat kegagalan-kegagalan itu, mari kita mengambil risiko, mari kita maju dengan keberanian Firman Tuhan.

Tidak Kenal Lelah Merawat

Santa Teresa dari Kalkuta, yang peringatannva kita rayakan hari ini dan yang tanpa kenal lelah merawat masyarakat termiskin serta mendorong perdamaian dan dialog, berkata: “Ketika kita tidak punya apa-apa untuk diberikan, mari kita berikan kepada-Nya (Tuhan) ketiadaan kita itu. Dan ia (Santa Teresa) mengingatkan: meskipun engkau tidak memanen apa pun, janganlah pernah bosan menabur.”

Saudara-saudariku, janganlah pernah bosan menabur, karena inilah kehidupan.

Saudara-saudari, inilah yang juga ingin saya sampaikan kepada kalian, kepada Bangsa ini, kepada Nusantara yang indah dan beraneka ragam ini: jangan pernah lelah mengarungi kedalaman, jangan pernah lelah menebarkan jala, jangan pernah lelah bermimpi dan membangun lagi peradaban damai!

Selalulah berani memimpikan persaudaraan yang merupakan harta sejati kalian. Dengan Sabda Tuhan, saya mendorong kalian semua untuk menabur kasih, mengikuti jalan dialog dengan percaya diri, tetap mengamalkan kebaikan dan kemurahan hati dengan senyuman khas kalian.

Pernahkah orang memberi tahu kalian bahwa kalian adalah masyarakat yang tersenyum? Tolong, janganlah kalian kehilangan senyuman dan maju terus. Jadilah pembawa damai. Jadilah pembangun harapan!

Itulah keinginan yang baru-baru ini diungkapkan oleh para uskup di negara ini, dan keinginan inilah yang juga ingin saya sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia: berjalan bersama demi kebaikan masyarakat dan Gereja! Jadilah pembangun harapan. Dengarkan baik-baik: jadilah pembangun harapan! Pengharapan Injil yang tidak mengecewakan (bdk. Rm. 5:5), tidak pernah mengecewakan, dan membuka kita pada sukacita yang tiada habisnya. Terima kasih banyak.

Penerjemah: R.D. Hilario D.N. Nampar Edisé asli Bahasa Italia diambil dari https /oww.vatican.va/content/francescofithomilies/2024/documents/20240905-indonesiamiessa hitil

Related Post