Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Salam dari Biara Redemptoris Colombo, Sri Lanka
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mrk 8:34)
Orang Yahudi memiliki tradisi kuat akan konsep penderitaan atau pengorbanan diri sebagai sesuatu yang punya efek menyelamatkan. Mereka mempunyai sejarah panjang penderitaan, baik sebagai bangsa maupun sebagai pribadi dan selalu melihatnya dalam konteks iman. Hal ini terutama terjadi pada para pemimpin agama mereka.
Karena itu ketika Yesus menubuatkan takdir hidup-Nya yang diwarnai penderitaan lalu Petrus menolak, Yesus benar-benar marah. Petrus dianggap setan yang bukan hanya menolak rencana Allah tapi juga tidak tahu ajaran agama yang sesungguhnya.
Yesus lalu merumuskan secara baru sebagai syarat untuk menjadi pengikutnya, seperti dikutip dalam Injil hari ini.
Pertama, menyangkal diri. Konsep ini tidak sama dengan menolak diri sendiri. Ini adalah sebuah sikap positif yakni mengusir pikiran egois, menolak keinginan dan kecenderungan jahat dari hati kita dan mengisinya dengan kehendak Tuhan. Selain itu, juga dengan bantuan Tuhan, berarti membersihkan diri dari segala kebiasaan jahat, membiarkan Tuhan mengisi ruang-ruang di hati, dan mewartakan siapa Dia kepada sesama.
Kedua, memikul salib berarti dengan lapang dada menerima penderitaan itu tanpa keluhan sebagai bagian wajar dari hidup kita. Ini juga bisa berarti bahwa dalam penderitaan kita, kita tidak boleh menularkan kepahitan apa pun kepada orang-orang di sekitar kita.
Dengan cara ini beberapa bagian dari diri kita memang harus mati sampai akhirnya kematian total itu tiba. Tentu ini bukan penderitaan yang sia-sia karena harapan akan kebangkitan menjadi kekuatan akhir yang meneguhkan.
Ketiga, mengikuti Yesus. Prinsip dasar mengikuti Yesus terletak pada siapa Yesus bagi kita. Petrus sudah merumuskan dengan sangat baik bahwa “Engkau adalah Kristus”. Krestos dalam bahasa Yunani merupakan terjemahan dari “Messiah” artinya “Seorang Yang Diurapi”. Ini tidak lain dari “Immanuel” atau “Allah beserta kita”. Dalam prinsip ini ada keyakinan akan peran Allah sebagai Penyelamat dalam diri Yesus. Allah menjadi manusia untuk menyelamatkan para pendosa.
Karena itu mengikuti Yesus bukan sekadar menaati ajaran-ajaran layaknya seorang nabi atau guru tapi lebih dari itu, meletakkan nasib dalam tangan Yesus yang adalah Kristus. Ini bukan sekadar meniru sikap dan kata-kata-Nya tapi menyatukan diri dengan Dia.
Manusia dari Nazaret
Charles Lamb adalah penulis esai Inggris abad ke-19, yang mengangkat kembali nama penulis drama abad ke-17 William Shakespeare, dari semula tidak begitu dikenal tapi dia mengembalikannya ke pusat ketenaran.
Charles Lamb pernah terlibat dalam diskusi mengenai pertanyaan tentang siapa jenius sastra terbesar sepanjang masa. Dua nama akhirnya muncul: William Shakespeare dan Jesus dari Nazaret.
Lamb mengakhiri perdebatan ketika dia berkata: “Saya akan memberi tahu Anda perbedaan antara kedua pria ini. Jika Shakespeare masuk ke ruangan ini sekarang, kita semua akan bangkit untuk menyambutnya, namun jika Kristus masuk, kita semua akan tersungkur dan menyembah.”
Ada perbedaan mendasar antara Manusia dari Nazareth dan semua orang hebat lainnya yang dapat Anda pikirkan. Yesus Kristus adalah Tuhan, dan semua orang lain, tidak peduli apa perbuatan mereka, hanyalah orang bodoh yang melangkah di atas panggung untuk waktu yang singkat dan kemudian keluar.
Jika dunia menyambut Paus Fransiskus sedemikian rupa dengan segala kekaguman dan penghormatan, betapa lebih lagi Yesus Sang Mesias.*