Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada, dan Kandidat Doktor Filsafat STF Driyarkara, Jakarta
TEORI atom telah berkembang seiring perjalanan waktu, dan pendekatan manusia terhadap pembelajaran juga telah mengalami transformasi signifikan. Dalam hal ini, orang dapat melihat adanya paralel antara perkembangan pemahaman tentang struktur materi dengan evolusi teori belajar.
Penelusuran dari pemikiran filsuf Yunani Kuno hingga konsep atom modern menunjukkan bagaimana kita sebagai manusia selalu berusaha memahami realitas di sekitar. Dalam proses ini, pendekatan yang kita gunakan dalam mengurai misteri atom juga memberikan wawasan berharga mengenai bagaimana manusia memahami proses belajar.
Awalnya, para pemikir Yunani percaya bahwa alam semesta terdiri dari empat elemen dasar: api, air, tanah, dan udara. Pemikiran ini sejalan dengan pemahaman awal tentang belajar, masih sangat sederhana dan terbatas pada apa yang dapat diamati dan dirasakan. Ketika teori atom mulai berkembang, konsep bahwa materi dapat dipecah menjadi bagian-bagian terkecil, serupa dengan pendekatan behaviorisme dalam belajar, dengan menitikberatkan pada perilaku yang dapat diamati.
Pada abad ke-18, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, konsep atom mulai mengalami transformasi, mirip dengan pergeseran dari behaviorisme ke kognitivisme dalam teori belajar.
Para ilmuwan seperti John Dalton mengajukan teori bahwa atom adalah partikel terkecil yang menyusun materi, sama seperti behaviorisme yang menganggap perilaku sebagai manifestasi dari proses belajar. Namun, seiring perkembangan pengetahuan, para ilmuwan seperti Niels Bohr (dalam Sackney & Mergel, 2007) mengungkap bahwa atom memiliki struktur jauh lebih kompleks, seperti halnya para pendidik menyadari bahwa proses belajar melibatkan lebih dari sekadar perilaku yang tampak.
Kemudian, teori kuantum membawa pemahaman bahwa atom tidak stabil dan selalu berada dalam keadaan perubahan. Hal ini sejalan dengan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran, di mana pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat dinamis dan dibangun oleh individu berdasarkan pengalaman dan perspektif mereka. Sama halnya seperti atom yang tidak dapat diamati secara langsung, konstruktivisme menekankan bahwa proses belajar tidak sepenuhnya dapat dipahami dari luar; melainkan, pemahaman itu berkembang dari dalam diri seseorang.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah teori-teori ini saling bertentangan atau justru saling melengkapi? Johannes Cronje (2000) menyarankan bahwa teori belajar tidak harus dipandang sebagai eksklusif satu sama lain. Cronje mengajukan model yang menempatkan objectivisme dan konstruktivisme sebagai dua poros berpotongan secara tegak lurus, menciptakan empat kuadran: Kekacauan, Instruksi, Konstruksi, dan Integrasi. Pendekatan ini menyoroti bahwa setiap proses belajar dapat beroperasi di antara dua ekstrem ini, tergantung pada konteks dan tujuan pembelajaran.
Dalam pengajaran, seperti halnya dalam memahami atom, tidak ada satu pendekatan sempurna atau mutlak. Evaluasi teori belajar berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Ertmer dan Newby (1993), seperti “Bagaimana pembelajaran terjadi?” atau “Apa peran memori dalam belajar?” memungkinkan kita mengakui bahwa setiap teori memiliki relevansinya masing-masing. Sama seperti para ilmuwan yang menggunakan model atom Bohr untuk menggambarkan proton, neutron, dan elektron, sementara juga menyadari bahwa model ini tidak sepenuhnya menggambarkan realitas kuantum, para pendidik juga dapat menggunakan pendekatan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan situasi pembelajaran.
Dalam era yang semakin kompleks ini, kita dihadapkan pada realitas bahwa pembelajaran bukanlah sebuah proses linier atau statis, melainkan sebuah perjalanan multi-dimensi dan dinamis. Seperti atom yang memiliki sifat dan karakteristik yang tidak pernah bisa sepenuhnya dipahami atau dijelaskan oleh satu teori tunggal, pembelajaran juga menuntut pendekatan lebih terbuka dan holistik. Hal ini berarti bahwa pendidikan harus mengakui keragaman potensi, cara belajar, dan latar belakang setiap individu, serta memahami bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan dalam satu kerangka yang kaku.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, kita perlu mengadopsi pendekatan integratif yang menggabungkan berbagai perspektif, metode, dan disiplin ilmu, sehingga mampu menciptakan pengalaman belajar lebih kaya dan mendalam.
Pendekatan ini memungkinkan pembelajaran menjadi proses yang terus berkembang dan relevan dengan kebutuhan zaman, serta memberikan ruang bagi inovasi, kreativitas, dan refleksi kritis. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya tentang menguasai fakta atau teori, melainkan juga tentang mengembangkan kemampuan berpikir, beradaptasi, dan mengapresiasi kompleksitas dunia yang selalu berubah.*