Mon. Sep 23rd, 2024
Mama Theresia terbaring sakit di RS Karitas Waitabula, Sumba. Siap-siap menerima Komuni Kudus. (Ist)

MAMAKU Theresia Bela, saya tulis surat ini di saat tubuhmu sudah renta dan ringkih sebab menurut hitungan masa, engkau telah melintasi siang dan malam selama hampir 88 tahun. Ragamu yang dulu nyaris dibilang “perkasa” karena tiada letih engkau bekerja membalik tanah siang dan terkadang malam, kini sudah tampak sangat rapuh. Langkahmu pun gontai tak bertenaga. Suaramu pun sudah lemah.

Dulu, bersama ayah engkau tiada kenal menyerah menantang matahari dan curah hujan, mencurahkan cintamu sehabis-habisnya di sawah dan ladang warisan leluhur. Kadang hasil panen kita sangat sedikit karena curah hujan yang kurang, tanah yang kurus dan kurang humusnya, juga karena hama tikus jahanam menyerangnya.

Engkau tahu betul bahwa gaji ayah sebagai guru SD, sama sekali tidak cukup untuk menghidupi kami bersepuluh. Bersama ayah selepas pulang dari sekolah, engkau bermandi peluh di ladang, lalu pada sore hari saat kembali ke rumah, engkau harus menjunjung aneka jenis makanan ternak. Saya tahu tubuhmu letih, dan bisa jadi ingin berteduh—makna halus dari ”menyerah” terhadap sinar matahari yang membakar punggungmu.

Engkau memilih bertarung karena cintamu pada kami. Walau sangat tidak mudah memenuhi, engkau mau agar asupan makanan kami bagus, sehingga raga kami tumbuh dengan baik dan otak kami pun cerdas. Tidak jarang engkau makan paling kemudian tatkala nasi yang tersedia tidak mencukupi. Acapkali engkau malah hanya kebagian kerak nasi.

Mama juga sering ”Memaksa” kami untuk banyak makan sayuran, sebenarnya agar kami kenyang sebab nasi yang ada ”Terbatas” atau bahkan kurang. Mama mengatakan, ”Kalau banyak makan sayur, nanti pintar. Kalau makan sayur, nanti memiliki rambut  yang hitam panjang.” Kami menurut saja.

Dan rupanya karena itu, dan tentu karena kemurahan Tuhan, rata-rata kami terbilang agak pintar—minimal menjadi juara kelas untuk ukuran di kampung. Dan ternyata kemudian, kami bisa sekolah semua dengan tingkat pendidikan yang cukup.

Mama, kampung kita dulu (di Sumba, NTT) sering dilanda musim lapar atau musim paceklik. Sebenarnya, engkau bersama ayah sudah bekerja keras di ladang dan sawah, namun sering kali kita gagal panen. Saya masih ingat, engkau mengajak saya untuk pergi ke keluarga (sepupu atau olebei untuk mandara, yakni meminta persediaan makanan mereka.

Kita berjalan kaki melintasi jarak yang terbilang sangat jauh. Beruntung olebei bermurah hati dan mau berbagi dengan kita, walau itu hanya berupa jagung. Saya yang masih sangat kecil menemanimu berjalan menyusuri kali, lalu beberapa kali menapaki jembatan bambu darurat yang licin di musim hujan. Andai saja, engkau atau saya terpeleset dan jatuh ke kali, entah siapa yang bisa menolong.

Tapi itulah kebesaran Tuhan. Dia mengirim malaikat-Nya untuk menemani dan melindungi kita. Saya masih ingat betul, saat pulang mandara itu, kita diantar oleh olebei dengan kuda yang membawa jagung. Kita kemalaman di jalan lalu mampir bermalam di rumah bekas teman guru ayah. Pak Guru Sipri Padaka itu menjamu kita dengan menyembelih seekor ayam sebagai tanda penghargaan.

Saya juga masih sangat ingat, pada sebuah musim lapar yang lain, saya jatuh sakit sehingga badan saya kurus kering. Di saat itu kita tidak punya makanan, tapi rupanya engkau menyimpan padi dalam satu wadah yang teranyam dari pandan yang disebut kadanu di loteng rumah kita yang beratap alang-alang itu. Isinya pun hanya sekitar 5 kg.

Padi itulah yang engkau tumbuk sedikit demi sedikit untuk mendapatkan berasnya lalu menanaknya menjadi bubur dicampur bayam untuk saya. Mama dengan telaten menyuapi saya. Entah kakak-kakak dan adik-adik makan apa ketika itu. Mereka pun mengerti bahwa saya ”diistimewakan”. Puji Tuhan, alhamdulillah, saya akhirnya sembuh dan tidak jadi busung lapar.

Mama, saya bersyukur tumbuh dalam situasi hidup yang penuh perjuangan. Saya yakin, karena itulah saya dan saudara-saudari kemudian tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan. Kami tidak mudah menyerah. Juga tidak dengan enteng mencari jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan.

Ketika kuliah dan tidak memiliki uang makan sama sekali, kami tidak menyerah. Berjualan buku dari rumah ke rumah, atau menjajakan beras dari kos ke kos menjadi pilihan yang kami lakukan tanpa ragu-ragu dan malu. Bahkan ada yang berjualan sayur di tengah kota sambil kuliah. Dan rupanya, itulah jalan perjuangan yang Tuhan sediakan untuk kami lalui. Puji Tuhan.

Mama, terima kasih atas jalan perjuangan penuh cinta yang Mama tunjukkan dengan caramu yang sederhana. Mama tidak sekolah tinggi, namun mampu menunjukkan nilai-nilai perjuangan yang tak lekang oleh waktu dan tetap menyala di hati dan pikiran kami.

Terima kasih, Mamaku. Semoga Tuhan tetap memelihara tubuhmu yang kian renta dan menganugerahimu kegembiraan dan harapan.

Peluk erat penuh cinta anakmu, Emanuel Dapa Loka

 

Related Post