Seperti telah diberitakan media secara luas, Romo Benny Susetyo pada hari Sabtu, 5 Oktober 2004, pukul 00.05 di RS Mitra Medika Pontianak, Kalimantan Barat dalam usia 56 tahun.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan status imamatnya mengingat yang bersangkutan telah mengundurkan diri sebagai imam Keuskupan Malang?
Pengunduran diri tersebut tertuang dalam Surat Uskup Malang, Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan OCarm No. 202/Uskup-KM/B/XII/2023 yang terbit pada tanggal 19 Desember 2023.
Menyangkut status tersebut, Vikaris Jenderal Keuskupan Malang, Pastor Alphonsus Tjatur Raharso ketika menjawab hidupkatolik.com mengatakan, “Meninggal sebagai imam Katolik dan Keuskupan akan memakamkan sebagai imam Katolik.”
Mengutih Kitab Hukum Kanonik, Pastor Alphonsus Tjatur Raharso mengatakan, “Pencabutan yurisdiksi dan pemutusan hubungan seorang imam diosesan dengan keuskupannya menyentuh dua aspek penting: status imamat dan inkardinasi.”
Untuk memahami situasi imam tersebut setelah meninggal, masih Pastor Alphonsus Tjatur Raharso , mari kita bahas beberapa poin berdasarkan Kitab Hukum Kanonik (KHK).
Pertama, tentang Inkardinasi dan Ekskardinasi:
Seperti dilansir hidupkatolik.com, menurut Kanon 265, setiap imam harus inkardinasikan pada suatu keuskupan atau tarekat religius. Inkardinasi adalah hubungan resmi seorang imam dengan keuskupan (atau tarekat) yang memberinya yurisdiksi dan tanggung jawab pastoral.
Jika seorang imam dicabut yurisdiksinya dan diekskardinasikan (keluar dari keuskupan) tanpa diinkardinasikan ke keuskupan lain, imam tersebut tetap valid dalam status imamatnya, karena tahbisan imamat bersifat permanen dan tidak bisa dihapus (bdk. Kanon 290). Namun, dia tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan fungsi imamat secara publik, karena yurisdiksinya sudah dicabut.
Kedua, tentang Status Imamat Setelah Meninggal:
Meskipun seorang imam telah dicabut yurisdiksinya dan diekskardinasikan, status tahbisan imamat tetap berlaku hingga kematiannya.
Kanon 976 menyatakan bahwa seorang imam dalam kondisi apapun masih bisa melayani secara sah dalam keadaan darurat, seperti memberikan absolusi kepada seseorang dalam bahaya maut, karena sifat imamat yang tak bisa dihapuskan.
Jika imam tersebut meninggal dalam kondisi tidak lagi menjadi bagian dari keuskupan (non-inkardinat), tahbisan imamatnya tetap diakui secara sah, meskipun dia mungkin tidak memiliki hak untuk dimakamkan sebagai seorang imam secara penuh sesuai tradisi liturgi, tergantung pada keputusan otoritas gereja setempat.
Keputusan ini biasanya akan mempertimbangkan situasi khusus, seperti apakah imam tersebut tetap berada dalam kesetiaan iman atau tidak melakukan pelanggaran berat.
Ketiga, Dasar Hukum Kanonik yang Relevan:
Kanon 265: Setiap klerus harus diinkardinasikan pada suatu keuskupan atau tarekat religius.
Kanon 290: Tahbisan imamat bersifat tetap, dan tidak bisa dihapus kecuali oleh keputusan otoritas Gereja untuk kasus yang sangat serius.
Kanon 976: Imam yang telah kehilangan yurisdiksi tetap dapat memberikan absolusi sah dalam kondisi darurat (bahaya maut).
Kanon 1021-1032: Mengatur tentang inkardinasi, ekskardinasi, dan tahbisan dalam konteks pastoral dan otoritas.
“Secara singkat, seorang imam yang kehilangan yurisdiksi dan inkardinasi tetap dianggap imam yang valid hingga kematiannya, tetapi tidak memiliki kewenangan pastoral resmi. Setelah meninggal, status imamatnya tetap diakui, meskipun rincian perihal pemakaman dan perlakuan lebih lanjut tergantung pada kebijakan otoritas gereja lokal,” Tambah Pastor Tjatur. (*)